Setelah telepon dari Bening, Nares meremas pelipisnya. Kasus Faris yang belum selesai kini bertambah dengan kasus yang lebih rumit. Sebuah kasus bunuh diri seorang siswi di sekolah yang tengah di tanganinya. Pikiran Nares mulai terbelah, tetapi Biru, rekan setianya, menawarkan secangkir kopi hangat. "Santai dulu, Nares," katanya, mencoba menenangkan Nares yang terlihat lelah.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama, karena Karina datang dengan kertas data di tangannya. "Ini," katanya sambil menyerahkan berkas tersebut. "Darah yang ditemukan di TKP bukan milik korban, tapi milik Pak Arman, kepala sekolah."
Nares terkejut dan menatap Biru, mengkonfirmasi apa yang telah diduga. "Jadi, Jefri benar. Dia memang tidak tahu apa-apa tentang kejadian itu." Nares langsung membuka pintu ruang interogasi dan memerintahkan Jefri untuk pulang. "Kamu boleh pergi, Jefri. Kasus ini bukan milikmu lagi," katanya dengan nada datar. Setelah itu, Nares memerintahkan tim kepolisian untuk segera menuju rumah Pak Arman untuk melakukan penangkapan.
Karina tersenyum kecil mendengar keputusan Nares. "Sama-sama," ujarnya singkat. Nares menghargai kehadiran Karina yang terus memberi dukungan dalam setiap langkah penyelidikan ini.
Di Rumah Pak Arman
Tim kepolisian bergerak cepat dan berhasil menangkap Pak Arman di rumahnya. Setelah di bawa ke ruang interogasi, Pak Arman menunjukkan sikap menutup diri dan enggan berbicara. Biru memberikan semua data yang mereka miliki, termasuk bukti darah Pak Arman yang ditemukan di TKP. Pak Arman tetap diam, tidak mau memberi penjelasan.
Namun, begitu pengacaranya tiba, barulah suara Pak Arman terdengar. Pengacara mulai bicara, menyatakan bahwa Pak Arman terluka saat Nares dan Biru melakukan penyelidikan pertama kali di sekolah. "Darah itu milik Pak Arman karena dia terluka saat kejadian itu," jelas pengacaranya dengan yakin.
Nares menatap Pak Arman dengan sorot mata tajam. "Pak Arman, apakah Anda pernah melakukan pelecehan terhadap anak di bawah umur?" tanya Nares dengan nada yang semakin dalam.
Pak Arman menjawab dengan cepat, "Tidak! Saya tidak pernah melakukan itu!" Namun, Nares hanya tersenyum sinis mendengar jawaban tersebut. Nares kemudian membuka sebuah bukti yang menunjukkan aktivitas Pak Arman di bar dan perbuatan tidak senonoh yang ia lakukan bersama beberapa murid di sekolah. "Mungkin korban yang meninggal, Milena Pranaya, sedang sial karena ia secara tidak sengaja melihat adegan itu, kan?" ujar Nares dengan tajam.
Wajah Pak Arman mulai terlihat panik. "Tidak, itu tidak benar!" teriaknya, mencoba menyangkal.
Nares tak terpengaruh dan terus berbicara, "Korban ini dibunuh dan kematiannya disamarkan sebagai bunuh diri. Kamu mengancam Milena setelah dia melihatmu di bar, dan kamu memukulnya agar rahasianya tidak terbongkar."
Pak Arman hanya bisa terdiam, mencoba mengatur napasnya. Nares melanjutkan, "Kamu bekerja sama dengan Milkah Adreena, kekasih gelapmu, yang juga terlibat dalam kasus perundungan terhadap Milena. Milkah takut rahasianya terbongkar, sehingga ia menyiksa dan melukai tubuh korban."
Nares menambahkan bukti yang mereka temukan, termasuk keterangan dari tukang kebersihan sekolah yang menyaksikan beberapa kejadian mencurigakan di sekitar lokasi kejadian, dan teman-teman Milena yang kini bersimpati pada korban. "Semua bukti ada di sini, Pak Arman. Kamu dan Milkah adalah pelaku utama dalam kasus ini."
Pak Arman mencoba membantah, namun tak ada yang bisa disangkal lagi. Nares menegaskan, "Kami menetapkan Anda sebagai tersangka, Pak Arman. Persidangan akan digelar minggu depan."
Dengan kata-kata terakhir itu, Nares berdiri dan memberi isyarat kepada tim untuk mengamankan Pak Arman lebih lanjut. "Kasus ini belum selesai. Kami akan membawa semua bukti ke persidangan dan memastikan keadilan untuk Milena."
Pak Arman hanya bisa menunduk, tidak ada lagi pembelaan yang bisa ia lakukan.
---
Di ruang kerjanya, Bening menatap berkas yang baru saja tiba di mejanya. Kasus ini terasa lebih berat dari biasanya. Ia menghela napas pelan, membaca setiap halaman dengan saksama. Nama Milena Pranaya tercetak jelas sebagai korban, sementara Pak Arman dan Milkah Adreena disebut sebagai tersangka utama.
Tak lama, ponselnya bergetar. Nama Nares muncul di layar. Bening mengangkat telepon, suaranya tenang seperti biasa.
"Halo?"
Dari seberang, suara Nares terdengar sedikit parau. "Bening... aku minta tolong, tolong hakimi kasus ini."
Bening menghela napas panjang, menatap berkas di tangannya sekali lagi. Ia memahami beban yang kini dirasakan Nares. "Aku sudah membaca kasusnya, Nares. Aku akan menghadiri persidangan minggu depan."
Sejenak, hening terdengar di ujung telepon, sebelum suara Nares kembali muncul, lebih lega dari sebelumnya. "Terima kasih, Bening. Kau selalu bisa diandalkan."
Bening tersenyum tipis. "Sudah tugas seorang hakim, bukan? Jangan terlalu dipikirkan."
Nares tertawa kecil. "Kau sibuk hari ini? Maukah kau keluar sebentar? Ngopi bersamaku."
"Boleh," jawab Bening ringan.
---
Kafe itu tak terlalu ramai sore ini. Bening duduk di salah satu sudut, sementara Nares duduk di depannya, menatap cangkir kopinya dengan tatapan kosong. Suasana terasa hening, hanya suara mesin kopi dan obrolan ringan dari meja lain yang terdengar.
Bening menyenderkan tubuhnya di kursi, memperhatikan Nares yang tampak larut dalam pikirannya. "Kau tidak perlu secemas itu, Nares. Ini hanya kasus seperti biasanya."
Nares mengangkat kepalanya, tersenyum tipis. "Aku tahu. Tapi ini berbeda, Bening. Korbannya seorang anak, dan pelakunya... guru yang seharusnya melindungi."
Bening menatapnya dalam-dalam. "Itulah sebabnya aku tidak akan menyia-nyiakan persidangan ini. Keadilan akan ditegakkan."
"Terima kasih." Nares merespons dengan tulus, akhirnya menyesap kopinya yang mulai dingin.
"Santai saja, Nares. Ini tugas seorang hakim." Bening tersenyum menenangkan.
Saat itu, suara akrab terdengar dari arah meja kasir. "Eh, kalian di sini juga?"
Karina, yang baru saja memesan kopi, melangkah mendekat sambil membawa cangkirnya. Tanpa ragu, ia duduk di sebelah Nares.
"Tidak menyangka kalian berdua akan nongkrong bersama," ujarnya sambil menyeringai.
Bening tersenyum, sementara Nares hanya mendesah pelan. "Jangan mulai, Karina."
Karina terkekeh. "Santai, Nares. Kalian terlihat cocok, tahu?"
Bening melirik Nares yang hanya menggelengkan kepala dengan ekspresi malas.
"Kami hanya membicarakan kasus, Karina," jelas Bening sambil menyeruput kopinya.
"Iya, iya... kasus. Tapi tetap saja, aku tak bisa menahan senyum melihat kalian begini." Karina terkikik.
Nares menatap Karina tajam, namun tidak ada kemarahan di matanya. Hanya rasa pasrah terhadap tingkah Karina yang selalu spontan.
"Baiklah, baiklah. Aku diam." Karina mengangkat kedua tangannya. "Tapi kapan pun kalian butuh bantuan di kasus ini, aku siap."
Nares menatapnya. "Terima kasih, Karina."
"Kapan pun, Nares," jawab Karina sambil tersenyum tulus.
Mereka bertiga menikmati suasana kafe yang semakin lengang. Di tengah canda dan obrolan ringan itu, ketiganya tahu bahwa persidangan minggu depan akan menjadi titik penting dalam kasus ini. Dan tidak peduli seberapa beratnya, mereka akan menghadapi semuanya bersama.
Jangan lupa pencet tombol bintangnyaa...
See you...
YOU ARE READING
Judgment Code [END]
Mystery / ThrillerJudul: Judgment Code Genre: Thriller, Misteri, Kriminal, Drama Tema: Keadilan, Persahabatan, Konspirasi, Pengorbanan --- Sinopsis: Di balik hiruk-pikuk kota yang tampak tenang, tersembunyi rahasia kelam yang siap meledak kapan saja. Sebuah kasus pem...
![Judgment Code [END]](https://img.wattpad.com/cover/356769495-64-k525381.jpg)