Darah penjajah

0 0 0
                                    

Via melanjutkan serangannya dengan nada sinis, mencoba menjatuhkan martabat Eva. "Kamu pikir kamu layak berpacaran dengan Candra? Kamu bahkan tidak layak duduk di mejanya. Apalagi membicarakan hubungan yang serius dengan dia. Kamu punya darah penjajah VOC dalam dirimu!"

Ketika Via menyampaikan tuduhan baru, Eva merasa terkejut dan terpukul. Tuduhan tersebut tidak hanya menyerang hubungannya dengan Candra, tetapi juga merusak identitas dan martabatnya secara pribadi.

"Darah penjajah VOC?" Eva mengulangi dengan suara gemetar, tidak percaya bahwa Via akan menggunakan hal tersebut sebagai senjata dalam konfrontasi mereka.

Lia merasakan betapa hancurnya Eva mendengar tuduhan itu. Dengan lembut, Lia menyentuh lengan Eva dan berkata, "Eva, jangan biarkan kata-kata itu menghancurkanmu. Apa pun yang dikatakan Via, VOC adalah bagian dari masa lalu yang tidak bisa kita ubah. Yang penting adalah siapa kita sekarang dan bagaimana kita bertindak ke depannya."

Via menambahkan, "Bahkan paspornya Eva masih Belanda. Kamu pikir dia akan melepaskan semuanya untuk Candra? Apakah kau akan melepaskan status penjajahmu demi Candra?"

Eva merasa semakin terpukul oleh serangkaian tuduhan dan penghinaan yang dilontarkan oleh Via. Dia merasa seperti semua identitasnya dirobek-robek dan diremukkan oleh kata-kata sinis Via.

"Dia tidak pernah memahami situasiku," pikir Eva dalam hati, merasa terasing dan terluka oleh komentar-komentar Via.

Air matanya menetes perlahan, tetapi dia berusaha keras untuk menahan emosinya. Di sisi lain, Via semakin mengejek Eva dengan kejam, mengarahkan serangannya pada identitas dan masa lalu keluarga Eva.

"Kalau saja dia tahu betapa menyakitkannya kata-kata itu," pikir Lia dalam hati, merasa marah pada Via atas kejamnya kata-katanya.

Tatapan Lia beralih antara Eva dan Via, merasa terbagi antara ingin membela temannya dan menghadapi Via. Namun, dia tahu bahwa yang terpenting adalah memberikan dukungan kepada Eva di saat-saat sulit ini.

"Eva, kita harus tetap tenang dan menghadapinya dengan kepala tegak," ujar Lia dengan suara lembut, mencoba memberikan semangat kepada Eva.

Eva menatap Lia dengan mata yang dipenuhi oleh kepedihan dan kebingungan. Meskipun dia merasa hancur oleh serangan kata-kata Via, kehadiran Lia memberinya sedikit kelegaan.

"Aku mencoba, Lia. Tapi rasanya begitu sulit," ujar Eva dengan suara gemetar, mencoba menahan tangisnya.

Lia mengangguk penuh pengertian, merangkul Eva dengan lembut. "Kamu tidak sendirian, Eva. Aku di sini untukmu, selalu."

Sementara itu, Via terus mengejek Eva dengan kata-kata yang penuh dengan penghinaan. "Bayangkan jika kakek, nenek, dan buyutnya Candra tahu bahwa cucu cicit mereka berpacaran dengan gadis penjajah VOC. Apakah mereka akan menerimamu, Eva?. Apakah kamu akan mampu menjelaskan darah penjajahmu kepada mereka?"

Eva merasa seperti ditusuk oleh kata-kata itu. Air matanya semakin deras menetes, tetapi dia bertekad untuk tidak menunjukkan kelemahannya di depan Via. Meskipun hatinya hancur, dia tetap tegar.

"Kamu tidak tahu apa pun tentangku atau keluargaku, Via," ujar Eva dengan suara gemetar, mencoba menahan tangisnya. "Dan aku tidak akan membiarkanmu meremehkan identitasku atau keluargaku."

Dalam keadaan terpukul dan hancur, Eva merasa semakin muak dengan serangan kata-kata Via yang terus menyudutkan identitasnya. Air mata yang telah mengalir deras menjadi semakin sulit dikendalikan, dan rasa muaknya terhadap perlakuan Via semakin memuncak.

"Diam!" teriak Eva tiba-tiba, suaranya gemetar karena emosi yang meluap-luap. Dia tidak bisa lagi menahan kebencian dan sakit hatinya terhadap kata-kata yang meremehkan identitasnya.

Semua mata di kantin tertuju pada mereka. Suasana menjadi tegang, tetapi Eva tidak peduli lagi. Dia merasa seperti sudah mencapai batasnya.

"Diam, Via!" ulangnya, kali ini suaranya lebih tegas dan penuh dengan kemarahan yang terpendam. Dia tidak lagi membiarkan Via menginjak-injak harga dirinya tanpa melakukan sesuatu.

Via terkejut dengan reaksi tegas Eva. Tatapannya terhenti sejenak, tetapi kemudian dia membalas dengan sinis, "Apa yang salah, Eva? Apakah kamu tidak suka mendengar kebenaran?"

Eva merasakan kebencian membara di dalam dirinya. Tanpa berpikir panjang, dia melangkah mendekati Via dengan langkah yang mantap.

"Diam, aku katakan padamu!" ucapnya lagi, kali ini lebih keras. Dia meraih kerah baju Via dengan penuh kemarahan, memandangnya dengan mata yang menyala-nyala.

Teman-teman Via yang duduk di sekitarnya terkejut melihat perubahan drastis dalam sikap Eva. Mereka tidak pernah melihatnya begitu marah dan berani.

Via mencoba melepaskan diri dari cengkraman Eva, tetapi Eva tidak membiarkannya. Dia mendorong Via ke belakang, menegaskan dominasinya.

"Apa yang kau katakan tentangku, Via, adalah keji dan tidak berdasar!" bentak Eva dengan suara gemetar karena emosi. "Aku tidak akan membiarkanmu atau siapa pun merendahkan identitasku atau keluargaku!"

Tatapan Eva memancarkan kemarahan yang membara, tetapi juga keberanian yang tidak tergoyahkan. Dia telah mencapai titik puncaknya dan tidak lagi takut untuk menghadapi Via, siapa pun itu.

Melihat Eva yang tengah terhanyut dalam kemarahan, Lia merasa cemas. Dia ingin membantu temannya keluar dari pusaran emosi yang memabukkan itu, tetapi situasi semakin terasa sulit diatasi.

Dengan perasaan yang berat, Lia berusaha menarik Eva ke belakang, mencoba mengakhiri konfrontasi yang semakin memanas. Namun, upayanya sia-sia karena Eva tidak lagi mendengarkan siapa pun di sekitarnya.

"Sudah cukup, Eva," desah Lia dengan nada lembut, berusaha merangkul Eva dengan penuh kasih sayang. "Jangan biarkan dia menguasai emosimu seperti ini. Kita harus menenangkan diri dan mencari jalan keluar yang lebih baik."

Tetapi kata-kata Lia hanya seolah angin yang berlalu begitu saja di telinga Eva. Kemarahannya telah mencapai titik puncak, dan dia tidak lagi bisa merasakan apa pun selain kebencian yang membara di dalam dirinya.

Melihat keputusasaan Lia, Via semakin mengejek Eva dengan penuh kepuasan. Dia merasa senang bisa membuat Eva terbakar oleh kemarahannya sendiri.

"Ya, Eva, kamu memang seperti kakekmu," kata Via dengan nada sinis, mencoba menambahkan bara ke dalam api kemarahan Eva. "Inilah bagaimana kakekmu dan etnis Belanda memperlakukan pribumi terdahulu. Apakah kamu merasa bangga akan itu?"

Kata-kata itu menusuk langsung ke hati Eva. Dia merasa seperti dilemparkan kembali ke masa lalu yang gelap, di mana nenek moyangnya dan orang-orang Belanda memperlakukan mereka dengan kejam dan tanpa belas kasihan.

Namun, meskipun kemarahannya masih membara, Eva merasa suara kecil di dalam hatinya mengajaknya untuk menahan diri. Dia menyadari bahwa meladeni Via dengan kemarahan hanya akan memperburuk situasi.
Dengan perlahan, Eva melepaskan genggaman tangannya dari kerah baju Via. Air matanya terus mengalir, tetapi kali ini bukan lagi karena kemarahan, melainkan karena rasa sedih yang mendalam.

"Kamu tidak tahu apa yang kukorbankan atau perjuangkan," ujar Eva dengan suara gemetar, mencoba menahan tangisnya. "Dan kamu juga tidak tahu betapa sakitnya menjadi terus-menerus diserang dan direndahkan olehmu."

Melihat perubahan dalam sikap Eva, Lia merasa lega. Dia tahu bahwa temannya tidak akan terjebak dalam permainan emosi Via lebih lama lagi.

Seorang siswa mempertanyakan cara Via memilih untuk berdebat dengan membawa-bawa etnis dan keluarga. Dia menunjukkan bahwa menilai seseorang berdasarkan latar belakangnya bukanlah cara yang benar.

Kemudian, siswa yang baru saja maju dari kerumunan itu menyatakan, "Bagaimana kita bisa tahu bahwa keluarga Candra akan menolak Eva? Bagaimana jika mereka justru menerima Eva?"

Langit biru dimatakuWhere stories live. Discover now