8| Nala dan Firasatnya

13 3 0
                                    

Nala berdiri menatap keluar jendela dengan perasaan buruk. Sejak matahari tenggelem langit mulai menumpakan dukanya. Awalnya hanya gerimis tapi sekarang hujan turun dengan deras. Seolah langit memberi tahu semua mahluk bahwa tengah meraung menumpahkan semua lukanya.

Danurdara segera menutup jendela kayu itu takut bahwa nonanya masuk angin. Nala menatap lampu minyak tanah yang baru saja Dianti taruh di meja dengan kening mengernyit.

"Apa sekarang sudah memasuki musim penghujan?" Tanya dengan sedikit tak pasti. Sejak dulu Nala bukan orang yang dapat mengingat penggantian musim dengan baik. Karena kadang ia bahkan menjumpai kemarau di bulan yang harusnya musim hujan.

"Benar Rara, beberapa hari ini kadang-kadang akan hujan saat malam," jawab Danurdara dengan hormat dan memberi isyarat pada Dianti untuk mengambil selimut untuk menutupi tubuh Nala.

Nala mengangguk dengan pelan. Duduk di meja dengan tatapan sedikit goyah. Dianti segera meletakan selimut di tubuh gadis itu agar tak kedinginan.

Nala memegang ujung selimut di depan dadanya dengan erat meski menyadari bahwa tangannya tak bisa menggenggam seerat biasanya. "Bagaimana dengan Bendara? Aku tidak bisa keluar besok seharusnya Bendara baik-baik saja, kan?" Nala tidak menanyakan pertanyaan itu tanpa alasan. Reaksi keluarganya saat ia menemui Bendara berbeda dari biasanya.

Pertama, reaksi ibunya tidak akan sekeras itu meski mengetahui ia menemui Bendara. Paling-paling ia hanya akan diminta untuk mengakui kesalahannya atau menyalin buku sastra. Kedua, kakaknya, Bimantara. Nala tahu pria itu bukan orang yang akan ikut campur pilihan adiknya. Apalagi Bimantara dan ibunya mengisyaratkan hal yang sama. Mungkin keluarganya sudah benar-benar mulai menemukan hal yang akan membuat mereka mulai mempertimbangka  untuk memilih Yuwaraja.

"Belum ada berita. Seharusnya Bendara baik-baik saja."

Nala mengetuk permukaan meja dengan tangan kanannya membuat irama konstan. Kekuatan mata-matanya terbatas. Dia tak bisa mematai anggota kerajaan lain karena itu merupakan kejahatan yang tak termaafkan.

"Bendara baru saja kembali ke ibukota dengan kemenangan perang. Memang tak ada yang mencurigakan." Nala mengerutkan kening. Tidak pasti ada yang salah.

"Tapi sikap Maharani terlalu diam. Terlalu diam sampai aku percaya bahwa dia menerima begitu saja pencapaian baru Bendara yang membuatnya semakin disukai rakyat." Nala berhenti sejenak.

"Seharusnya reaksi byung dan raka berkaitan dengan sikap diam Maharani, kan? Mungkin raka sudah mengetahui apa yang akan terjadi."

Nala merasa semakin gelisah saat ia memikirkan ini. "Segera kirim orang untuk mengamati pergerakan raka. Segera beritahu aku bila aja hal mencurigakan yang berkaitan dengan Bendara."

Danurdara segera memberi hormat sebelum keluar dari kamar dan menutup pintu. Tangan Nala sedikit terkepal. Jika benar-benar akan terjadi sesuatu apa yang harus ia lakukan? Dia tak memiliki kekuatan untuk membantu Sanskara. Dan keluarga juga tak akan memberi bantuan.

"Rara, anda harus beristirahat sudah terlalu larut malam." Dianti mengingatkan dengan suara pelan membuat Nala yang tengah membaca buku segera mengernyit.

"Pergilah." Nala melambaikan tanganya meminta agar gadis itu kelyar dari kamarnya. Dia tak bisa tidur. Suara hujan deras di luar dan isyarat Bimantara membuatnya tak mengantuk.

Setelah Dianti keluar, Nala menyandarkan badannya di kursi dengan pasrah. Nala menutup mata dengan tangannya. Terkekeh miris. "Sulit. Menyukai sesorang memang sulit."

"Jika hal-hal berkembang kearah yang tidak diinginkan, apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkannya?" Nala menelan ludahnya dengan pahit. Rasa sukanya untuk Sanskara memang di luar logika. Ia menyukainya teramat menyukai. Entah itu karena pengaruh Raden Rara atau bukan tapi yang pasti pria itu memang tipenya.

***
[24 April 2024]

Langit kembali menumpahkan dukanya.

Biru

Nala dan Kisahnya: Became the Daughter of the King's AdvisorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang