7| Nala dan Keegoisannya

15 3 0
                                    

Nala mengangkat kepalanya  saat mendengar pintu kamarnya terbuka dari luar. "Menemui Mahapatih lagi?" Pertanyaan retoris itu membuat Nala menghela napas penat. Orang-orang sepertinya senang melemparkan pertanyaan yang jelas jawabannya.

Bimantara meletakan pedangnya di meja sebelum menarik kursi untuk duduk di depan Nala. "Romo juga pasti sudah mendengarnya. Katanya rayi pergi menemui Bendara setelah penjamuan Gusti Raden Ayu."

Nala mengangguk. Membenarkan apa yang Bimantara katakan. "Bagaimana pun tak ada yang bisa aku lakukan selain menemuinya," jawabnya dengan suara kecil.

"Bukan hal yang aneh. Pasti ada seorang yang melihat dan menyebarkannya." Bimantara memegang keningnya tak berdaya. Apa yang bisa ia katakan untuk membuat adiknya mengerti?

"Byung bahkan mengetahuinya." Nala memperlihatkan kedua tangannya yang tertutup kain. "Dipukul sampai luka."

"Rayi, sekarang bukan saat yang tepat untuk menunjukan keberpihakan. Romo selalu bersikap netral saat Yuwaraja dan Mahajara mengumpulkan kekuatan." Meski Bimantara tidak mengatakan kalimat selanjutnya, Nala mengerti maksudnya.

"Raka, ananda tahu apa yang akan dilakukan Maharani. Jika ananda diam, bukankah pada saat pemilihan selir ananda akan mendapat undangan? Namun dengan tindakanku yang terang-terangan pada Bendara tidakkah Maharani akan melewatkan ananda? Paling tidak dia akan ragu." Nala tahu apa yang dilakukan Raden Rara sejak dulu memang dimaksudkan untuk ini. Dia tak ingin menjadi selir. Paling tidak dengan tindakannya Maharani akan ragu untuk menarik orang yang dekat dengan Bendara karena akan membahayakan kepentingannya.

Nala menatap Bimantara tepat di mata. "Bukankah selama ini Bendara baik-baik saja? Bagian mana dari tindakannya yang berusaha untuk mendiskreditkan Yuwaraja dan berusaha untuk merebut posisinya? Bukankah Bendara memiliki pendukung dengan kekuatannya sendiri dan digunakan untuk menjaga hidupnya?" Nala tak tahu mengapa, tapi mengingat mata kesepian Sanskara membuatnya kesal.

Pria itu mengumpulkan prestise militer dengan mempertaruhkan nyawanya di medan perang. Namun bahkan setiap orang berusaha untuk mendiskreditkannya. Setiap orang mencoba melakukan sesuatu yang terbaik untuk Yuwaraja.

Jendela kamar yang terbuka terdengar bergerak peran. Mencoba memecahkan beku karena perkataan Nala.  "Rayi, dengan kekuatan yang begitu besar ditangan Bendara apakah menurutmu itu tidak menjadi ancaman? Jika kamu memiliki kekuatan militer ditanganmu, bukankah akan mudah untuk melakukan kudeta? Maharani tidak cemas tanpa alasan."

Nala mengangguk. Namun mengetahui bukan berarti mengerti. "Raka, menurutku Bendara bukan orang yang serakah seperti itu. Bisakah raka berhenti mengatakan pikiran-pikiran buruk tentangnya. Jika memang saatnya tiba terserah raka untuk berada dipihak Yuwaraja tapi jangan paksa ananda."

Nala tahu keluarganya selalu mempertahankan status quo dengan pihak Yuwaraja dan Bendara. Namun jika saatnya tiba, bukan tidak mungkin mereka akan dipaksa untuk memilih salah satu pihak.

"Lain kali dengarkan perkataan byung dan romo," ujar Bimantara setelah mereka terdiam lumayan lama. Seolah pembicaraan sebelumnya tidak ada.

"Jika mereka berjanji untuk menikahkanku dengan Bendara." Bimantara hanya dapat menggelengkan kepala. Berpikir bahwa tidak ada yang bisa melepaskan pikiran keras kepala itu.

"Kenapa harus Mahapatih, rayi? Kamu tidak akan bisa hidup seperti sekarang jika bersamanya." Akhirnya Bimantara menanyakan pertanyaan yang sudah lama mengganjal dipikirannya. Dilihat dari manapun dia tidak dapat menemukan alasan apa yang melandasi pemikiran adiknya atas Sanskara.

"Karena dia Bendara Raden Mas Sanskara Kala Kalandra." Melihat Bimantara tak mengerti, Nala kembali berkata. "Lihat itu." Nala munjuk langit senja. "Senja. Bendara itu senja ananda. Entah jingga, merah, atau kelabu ananda menyukainya."

"Dengan melakukan hal-hal yang membuat orang salah paham, bukankah rayi juga merusak reputasinya?"

"Bendara Raden Mas Sanskara itu milik ananda. Jika andanda tidak dengannya maka tidak dengan siapa pun."

Nala egois dan ia mengakuinya. Dia berasal dari zaman yang berbeda dan tak pernah bertemu dengan orang yang menggerakan hatinya. Namun, Sanskara berbeda dan Nala menyadarinya bahwa hatinya mungkin telah menemuman tempat berlabuh. Jadi sekarang biarkan ia melanjutkan perjuangan Raden Rara untuk mendapatkan Sanskara.


***
[23 April 2024]

Setelah merangkak dengan penuh keluhan akhirnya uas dan semua tugas di lms berhasil diselesaikan tepat waktu🤘

Lagi suka banget sama Nala dan Sanskara❤

Kisah cinta yang terhalang pilihan politik.

Biru

Nala dan Kisahnya: Became the Daughter of the King's AdvisorWhere stories live. Discover now