4| Orang Sepertiku Tidak Akan Memiliki Kesempatan Bagus Seperti Itu.

19 5 0
                                    

Nala berjalan di depan Dianti dengan tangan saking bertaut di dalam lengan bajunya. Saling meremat dengan kesal.
"Raden Rara Kayla, mengapa terburu-buru?" Seorang gadis dengan baju merah muda yang menawan berjalan disebelahnya.

Nala tak menanggapi hanya memberinya tatapan tajam sekitar. "Raden Rara, mengapa marah? Bukankah kejadian di kedai teh itu benar? Jika tidak mengapa tak menyangkal?" Tanyanya dengan suara lembut dan senyum tipis seolah tengah mendiskusikan arsitektur istana yang menawan.

Nala mencoba tersenyum. "Setiap orang memiliki hak untuk beropini sesuai skenario yang otaknya rancang." Jawabnya dengan senyum yang coba ia buat selebar mungkin.

"Juga, Raden Rara Minara berhenti mencoba menarik hati Bendara Raden Mas Sanskara. Mengapa membuang-buang waktu untuknya? Kudengar, Maharani tengah mencari selir untuk putera mahkota. Mungkin sebentar lagi akan ada rekrutan untuk para putri bangsawan jadi mengapa tak fokus padanya?" Tanya dengan senyum lega karena ia bisa mendapat ingatan itu disaat yang tepat.

"Kupikir Maharani dan Yuwaraja pasti akan menyukaimu seorang wanita ningrat yang berbudi luhur." Ejeknya dengan senyum penuh kemenangan.

"Hah hidup memang seperti ini. Orang sepertiku tidak akan memiliki kesempatan bagus seperti itu. Orang-orang di ibukota pun tahu bahwa Raden Rara Kayla Nala Yesha sangat tergila-gila pada Bendara Raden Mas Sanskara sehingga tak ada satu pun keluarga yang akan sudi menjadikanku menantu mereka."

Setelah mengatakan itu dengan nada ironi, Nala merasa lega. Berterima kasih pada sikap Raden Rara selama ini. Sehingga diusianya yang ke-18 tak ada satupun keluarga bangsawan yang berani memintanya untuk menjadi menantu mereka meski ia putri satu-satunya dari menteri dan penasihat kepercayaan raja.

Nala hampir terbahak saat melihat wajah kesal gadis itu. "Kupikir undangannya akan segera diserahkan." Tambahnya sembari menganggukan kepala sebelum berlalu.

Dianti yang sedari tadi berdiri di belakang keduanya menundukan kepalanya berusaha menahan tawanya agar tidak keluar dan membuatnya mendapatkan masalah.

"Dianti." Dianti segera berjalan ke depan Nala dan menunduk sekilas sebagai penghormatan. "Jalan mana yang menuju tempat Bendara berada?"

Dianti menatap sekiling sebentar sebelum berbisik. Setelahnya mereka berjalan dengan cepat. Melewati setiap lorong istana yang penuh dengan pelayan lalu lalang.

[]

Nala meletakan sebelah tangannya didadanya yang terasa berdebar kencang. Kakinya terpaku di tempat dan matanya menatap pada pria bertopeng yang tengah berbincang bersama dengan beberapa orang berseragam militer.

"Mereka para menteri yang berkuasa." Dianti sedikit mendekat untuk membisikan kalimat selanjutnya. "Secara umum kekuatan terbesar di istana terbagi dua. Satu mendukung Yuwaraja dan satu lagi kekuatan militer kekuatan yang berada di tangan Bendara."

"Maharani pasti tak akan tenang dengan kekuatan Bendara," komentar Nala setelah mendengar perkataan Dianti.

"Mau bagaimana pun Maharani tidak senang, pada kenyataannya hubungan antata Yuwaraja dengan Bendara baik-baik saja. Yuwaraja, bukan orang yang picik."

Nala sedikit mengernyit dan mengerutkan bibirnya tak setuju. Bagaimana mungkin ada dua matahari yang dapat bersinar berdampingan? Bukankah hanya akan saling membakar?

Nala mengerjapkan matanya. Ia tak salah Sanskara memang balas menatapnya dengan mata menyipit tajam.

"Yak, Dianti lakukan sesuatu. Bendara pasti ..." Perkataannya terpotong saat salah satu orang itu berjalan ke arah mereka.

Matanya menyipit tajam melihat bahwa bukan Sanskara yang menghampirinya. Bantara Dwipawijaya, bawahan yang menjadi tangan kanan Sanskara. Pria itu bertubuh tinggi dan berkulit sawo matang. Bentuk wajahnya lonjong dengan garis rahang yang tegas. Nala menghela napas. Jika Bantara hidup di masa depan, ia pasti akan menjadi aktor dengan penggemar pacar dan istri yang tak terhitung jumlahnya.

Bantara sedikit membungkukan badannya sebagai salam dan penghormatan. "Raden Rara sepertinya tersesat, biar hampa mengantar sampau pintu keluar." Nadanya memang lembut dan sopan, namun kata-kata yang diucapkannya membuat Nala ingin segera membuatnya agar tak berpura-pura.

Mata Nala melirik melalui ekor matanya. Sanskara masih sibuk berbincang. "Oh ... ah itu." Nala sedikit gelagapan, namun ia segera mengepalkan tangannya.

"Yak, bisakah kamu berhenti berpura-pura?" Implikasi dari perkataannya jelas. Ia ingin bertemu dengan Sanskara dan semua yang mendengarnya mengetahuinya.

Suara Nala yang keras membuat kelompok itu berhenti dan menatap mereka.


***
[11 April 2024]

Mohon maaf lahir dan batin:)

Biru

Nala dan Kisahnya: Became the Daughter of the King's AdvisorМесто, где живут истории. Откройте их для себя