27

54 7 1
                                    

Rak penjemuran besi di ujung halaman rumah penuh dengan hanger-hanger rapih yang sudah diisi segala macam pakaian basah oleh tangan seorang wanita muda berwajah dingin namun cantik. Kegiatan memasangkan baju pada hanger yang kemudian digantungkan di rak berulang-ulang kali itu tak luput dari mata cerah milik gadis cilik yang duduk di bangku teras bersama Rasmi sebagai teman duduknya.

"Age, kapan nyampek si?"

Untuk kesekian kalinya wanita berusia 51 tahun itu melontarkan pertanyaan basa-basi kepada anak kecil di sebrang meja bundar minimalis disebelahnya. Ia berupaya memberikan jasa khusus mengurangi kebosanan anak kecil yang diperkirakan akan terus menjadi pengamat dalam beberapa waktu kedepan sampai kegiatan penjemuran pakaian selesai.

Waktu sudah berlalu lama sejak Aesa memulai pekerjaannya dan Agnes sama sekali tidak pernah mengalihkan pandangannya ke lain arah atau melihat hal lain. Matanya hanya tertuju pada gadis muda di halaman rumah di depan mereka.

"Kemarin," Jawab Levin Agnesia Balorima acuh tak acuh. Sebenarnya kecanggungan menjadi faktor utama mengenai sikapnya, dia juga hanya mengenal Aesa di sini.

"Kemarinnya kapan?"

"Ya..." Menggantungkan jawabannya untuk berpikir sejenak, Agnes kemudian menjawab dengan ambigu, "Kemarin--"

"Minggu pagi," Sahut Aesa ikut menjawab yang pada akhirnya sama-sama ambigu, "Kayaknya."

Wajah Rasmi kini mendongak melihat punggung anaknya yang berdiri membelakangi. "Kok kayaknya?"

"Soalnya ketemu Age pertama kali tuh pas subuh minggu pagi." Merapihkan pakaian basah pada hanger, Aesa berbalik untuk melihat Rasmi. "Sama Mbak Susi."

Melihat Aesa menoleh membuat Agnes tersenyum lebar dan melontarkan pertanyaan, "Kak Esa lagi ngapain si?"

"Jemur."

Berbalik membelakangi, Aesa Limarta Ningsih kembali berfokus pada kegiatan menjemur pakaiannya.

"Pakaiannya siapa?"

Menurunkan pandangannya menuju Agnes, Rasmi menatapnya cukup lama.

"Pakaian aku lah masa pakaian kamu."

Mata itu melihat baik-baik kaos hijau tua di tangan Aesa yang diyakini milik seorang pria. Tanpa ragu tubuh kecilnya menurunkan diri dari bangku kayu dan berjalan menuju wanita di depan sana.  "Masa kak Esa pake baju cowok."

"Oh, kalo ini punya kakak."

"Kak Esa punya kakak?"

"Punya dong."

"Enak enggak punya kakak?"

"Menurut Age punya Ale enak enggak?" Tanya balik Aesa mengintip sekilas anak kecil yang berdiri di belakangnya.

"Kok jadi Ale."

"Aku punya kakak, Age punya Ale, itu sama aja--Enak enggak punya Ale? Ale itu saudara Age sama kayak kakak aku juga saudara aku." Belum sempat dijawab, Aesa tiba-tiba merubah topik pembicaraan. "Oya, Age sama Ale lahirnya duluan siapa?"

"Enggak tahu... Bareng si kayaknya."

"Kayaknya Ale duluan deh," Celetuk Rasmi beranjak berdiri dari duduknya yang membuat Agnes menoleh sekilas.

"Masa Ale duluan," Balas Agnes tidak terima sambil mengerucutkan bibir. Dia benci Ale yang selalu mendominasi semuanya. Hanya dia  anak kecil disini, jadi tidak bisakah cukup fokus padanya saja?

"Coba Age tanya Papa," Balas Rasmi lagi mengakhiri pembicaraan dan beralih berbicara kepada Aesa. "Es kuwut masih enggak si? siapa tahu Age mau."

"Masih."

HARAPAN (ANTON RIIZE #01) Where stories live. Discover now