23

53 7 0
                                    

"Papa." Suara serak milik seorang gadis kecil memecahkan keheningan mobil, membuat Anton melihat sekilas cermin di atas kepalanya untuk memastikan sosok Agnes yang terbangun dari tidurnya dan sudah mendudukkan diri di sebelah Allen yang masih meringkuk.

"Kok bangun? Masih lama ini nyampenya."

"Kok gelap si, Pa?" Mengucek mata beratnya, Agnes masih melihat sekitar seraya menambahkan, "Udah malem yah? Mobilnya dikasih lampu juga dong, gelap banget ini jangan depan doang yang dikasih lampu."

Jalanan di tengah-tengah hutan menjadi alasan mengapa keadaan diluar  dan didalam sangat gelap gulita. Dan Agnes sedikit menyalahkan ayahnya yang malah menyumbangkan lampu mobil ke jalanan ketika mereka sendiri tidak mendapatkan sedikitpun penerangan, hanya angka merah yang menyala terang di bangku pengemudi. 

"Kan udah malem jadi lampunya Papa matiin, lagian juga Age kan tadi tidur." Kemudian Anton menyarankan, "Age lanjut tidur aja nanti kalo udah nyampe Papa bangunin lagi."

Mereka akan sampai di Jawa beberapa jam lagi. Jika saja mereka berangkat lebih awal, dari pagi, pasti di waktu sekarang mereka sudah menikmati masakan ibunya. Dia menyayangkan waktu yang telah terbuang hanya untuk pertengkaran, sakit kepala yang tak kunjung sembuh dan persiapan perjalanan. 

"Nyampe mana?"

"Nyampe Jawa."

"Oiya, Age lupa... Kirain Age ini dirumah pantesan kok goyang-goyang."

"Jalannya rusak jadi mobilnya goyang. "

"Kenapa enggak dibenerin?"

"Enggak tahu sayang, Papa kan bukan yang ngurus jalan."

"Emangnya yang ngurus jalan siapa?"

Anton berpikir sambil terus fokus pada jalanan rusak yang bisa saja mencelakai mobilnya. "Ada lah pokoknya."

"Papa enggak kenal yah?"

"Enggak."

"Kalo Embah kenal enggak? Yang suka ngurusin jalan?"

"Kurang tahu, Papa."

"Kalo kenal nanti Age mau minta benerin."

Celetukan polos itu mengundang gelak tawa Anton. "Iya sayang."

Sebuah tangan milik seseorang yang masih berada di alam bawah sadar tiba-tiba melayang mengenai lengan Agnes. Bunyi kunyahan antara gigi dengan gigi keluar wajah anak laki-laki itu, membuat Agnes berdecak kesal sambil menyingkirkan tangan lain dari pahanya.

"Kenapa, Age?" Tanya Anton penasaran saat mendengar nada decak dari anak perempuannya dibelakang.

"Ini si Ale main mukul aja."

"Enggak sengaja itu, kan Ale nya lagi tidur."

"Mau pindah ke kebelakang aja lah!" Pekik Agnes yang langsung mendapatkan balasan dari ayahnya untuk menahannya tetap ditempat.

"Eh, jangan, nanti pusing kalo di belakang."

"Tapi ini si Ale nya ganggu Papa." Agnes merengek sambil menendang jok yang diduduki sang ayah. "Apa Ale kita buang aja? di jalan?"

"Eh, enggak boleh kayak gitu, masa saudara sendiri mau dibuang."

"Emang kenapa kalo ngebuang saudara sendiri? Ale juga katanya enggak mau hidup sama Age."

"Itukan udah selesai masa masih mau dibahas, masih mau diinget-inget mulu."

"Gunanya otak manusia kan emang buat inget-inget biar enggak lupa, kalo enggak bisa nginget nanti gimana Age mau bersikap? Masa Age baikin orang jahat, nanti jadi kebiasaan dong, iya kan?"  Anton terkejut mendengarnya. "Pasti semua orang juga gitu bukan Age doang, kalo dijahatin orang pasti keinget terus sampe gede." Tangannya sibuk menyisiri bulu boneka kucing di sebelahnya.

HARAPAN (ANTON RIIZE #01) Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu