20

55 7 0
                                    

"Kamu kok enggak bilang kalo kamu ditipu?"

Melirik sekilas benda tipis yang sengaja diletakkan di sebelah mouse, Anton balik tanya tanpa mengurangi kecepatan jarinya pada keyboard laptop. "Papa udah tahu?" 

"Tahu lah... Papa udah tahu lama malah, cuman ada waktu buat nelpon kamunya baru sekarang... Mmm, sebenarnya Papa nungguin kamu ngadu si, tapi enggak ngadu-ngadu."

"Anton bukan anak kecil lagi, Pa, jadi enggak perlu ngadu."

"Gimana ya... Bagi Papa sendiri kamu masih anak kecil ... Papa masih suka inget muka kecil kamu pas senyam-senyum kalo Papa kasih hadiah . Gimana muka dan suara kamu yang nangis mohon-mohon ke Papa pas Sigit ditangkep polisi perkara tuduhan sabu . Papa masih inget itu walau yang Papa lihat sekarang Anton yang sudah punya dua anak kembar."

Di sela-sela kesibukannya yang tengah mengerjakan laporan pekerjaan, Anton mendengus lucu mendengar pengungkapan masa lalu dari mulut ayahnya itu. "Kok Anton bisa yah dulu kayak gitu?"

Dia pribadi selalu bertanya-tanya kenapa saat itu dirinya seperti anak manja, anak yang tidak segan-segan menangis jika permintaannya tidak dituruti. Dan dia merasa malu jika teringat masa-masa itu.

"Karena kamu sayang sama temen-temen kamu mungkin."

Seketika bayangan Estu yang selalu berhasil membuatnya kesal terlintas di benaknya, bagaimana Sigit yang selalu berusaha untuk menjadi pendiam seperti anime namun tidak tahan gosip, bagaimana Sofin yang selalu berhasil membuat semuanya tertawa karena ketidaktahuannya, bagaimana perbedaan sifat Sultan yang tidak cocok dengan tubuh besarnya lalu Tara yang tiba-tiba tertawa tanpa sebab. Lalu sisanya, Weda, anak itu selalu membuatnya nyaman.

Sedangkan Anton, apa yang dia lakukan saat itu?

Hanya tertawa, itulah kelemahannya.

"Enggak ah, biasa aja," Celetuk Anton menolak.

"Papa ini lebih tahu gimana sifat kamu, kamu tuh bukan tipikal orang yang pedulinya sambil nangis paling ngedengerin aja juga udah cukup tapi pas itu kamu sampe nangis mohon-mohon ... Ya kayak pas kamu kehilangan Evelyn aja. Kamu juga nangisnya parah banget pas itu, bikin Papa panik sampe lupa naruh paspor dimana padahal udah dimasukin ke tas."

Baru saja hatinya merasa senang namun sekarang sudah sedih saja. Pikirannya tanpa diminta teringat saat-saat dia menangis dan merengek di lorong rumah sakit sambil menelfon ayahnya dulu . Mencoba menjelaskan apa yang terjadi dengan air mata kehancuran, merasa linglung dan bingung secara bersamaan. Dia tidak bisa menyambut bahagia begitu saja 2 buah hatinya karena disisi lain Evelyn meninggalkannya.

"Age sama Ale udah tahu belum? Tentang Evelyn?"

Pertanyaan itu seketika membuat Anton kembali pada kesadarannya. "Belum."

"Mereka emang enggak nanyain?"

"Enggak," Jawab Anton berbohong.

"Aneh banget," celetuk sang ayah. "Padahal harusnya di umur segitu mereka lagi banyak tanya, apalagi udah sekolah, pasti pas di sekolah lihat anak lain bawa mama , masa enggak nanyain sedikitpun."

Menyenderkan diri ke bangku miliknya, Anton memejamkan mata.

"Anton."

"Apa?"

"Kamu dengerin Papa kan?"

"Dengerin."

"Kirain Papa kamu ke kamar mandi."

"Enggak kok, masih di kamar."

"Age sama Ale lagi ngapain? Udah tidur yah?"

"Udah."

HARAPAN (ANTON RIIZE #01) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang