24

65 7 0
                                    

"Di mata kamu mama ini sebenarnya dianggap sebagai apa si? Orang mati?" Nada kemarahan penuh kekesalan tidak lepas dari sosok Susi yang berdiri di depan ranjang tempat Anton mendudukkan tubuhnya sekarang.

Berdecak gerah, mata pria itu melirik celah pintu kamar dengan perasaan tidak nyaman, takut percakapan mereka sampai ke teras rumah karena si kembar tengah berada di sana bersama Dandi. "Kok ngomongnya gitu si--"

"Gimana mama enggak ngomong kayak gini, orang kamunya juga kayak gitu kok ke mama. Apa jangan-jangan kamu beneran lupa yah sama mama? Kamu ngiranya mama ikut kecelakaan juga bareng keluarga Evelyn? Iya?"

"Ma... Ale sama Age udah ngerti, jadi jangan bahas kayak gini kalo ada mereka!" Anton terhenyak menyadari nada balasannya menjadi lebih tinggi dari sebelumnya, ia langsung buru-buru mengatur nada bicaranya. "Jangan bawa-bawa orang yang udah enggak ada juga."

Mendapatkan balasan seperti itu membuat Susi memukul bahu anaknya dengan kencang. "Kamu berani marahin mama?"

Terhuyung ke samping, Anton mempertahankan diri untuk tetap diam ditempat, kepalanya menunduk dengan mata yang melihat ke lantai. Kemarahan seorang ibu memang tidak ada tandingannya, jika dibalas pasti akan dianggap durhaka.

"Maaf."

Pada akhirnya seorang anak hanya bisa meminta maaf walau bukan murni kesalahannya.

"Emangnya-emangnya..." Kemunculan Dandi yang berjalan melewati kamar Anton dengan Allen sebagai ekornya mengalihkan perhatian Susi. "Emangnya om mau beli ikan cupang dimana?"

Suasana bahagia yang diciptakan Allen menarik Susi keluar dari kamar tersebut dan beralih menyusul anak bungsu dan cucu laki-laki nya ke belakang. "Age mana?"

"Di depan," jawab Dandi yang tengah mengecek aquarium kering.

"Enggak masuk?" Tanya Susi lagi sambil mengusap pucuk kepala Allen yang tengah melongok ke dalam aquarium di depan Dandi.

Wajah anak laki-laki itu terlihat sangat cerah, secerah matahari pagi. Ini karena keinginannya yang akan melihat ikan-ikan cantik berenang di aquarium akan terpenuhi oleh adik dari ayahnya. Ia tidak percaya begitu mengatakannya Dandi langsung bertindak memenuhi.

"Sibuk mainan sendiri dia," Jawab Dandi mengambil sawang dari sebuah batu karang putih di kotak aquarium kering.

Karena Agnes seorang anak perempuan jadi jelas kesenangannya akan berbeda dengan Allen yang seorang anak laki-laki. Anak perempuan cenderung bermain dengan pikirannya sendiri seperti berangan-angan sambil bermain masak-masakan, berdialog ditemani benda-benda yang menarik mata, intinya ada saja permainan karakter jika sudah asik dengan suatu hal.

"Aku mau ke pasar dulu beli ikan cupang, kamu disini ya jaga rumah?" Pilar rumah menjadi lawan bicara Agnes kali ini, anak itu terlihat menikmati karangan ceritanya sendiri.

"Emang beli dimana ikan cupang nya?" Itu karakter lawan yang juga Agnes perankan sendiri, dia benar-benar bermonolog.

Menatap udara, mata Agnes menangkap bangunan masjid. "Di masjid belinya, tuh lihat, enggak jauh kan?"

"Ya udah aku jaga rumah."

Manggut-manggut mendalami perannya, tangan itu kemudian menyibak rambut panjangnya ke belakang dengan kegenitan. Merasa menjadi manusia paling cantik di muka bumi ini. Kaki kecilnya membawa tubuh menjauhi pilar kemudian beralih mendekati bangku besi dan duduk disana. Agnes membuka telapak tangannya dan bercermin di tangan putihnya, dia bergaya dan bergaya. "Udah cantik harusnya dapet duit--"

Tiba-tiba pikiran lain terlintas di benaknya. "Aha! Apa aku minta beli make up make up aja yah? Ke Papa?"

Memiliki keinginan yang harus segera diutarakan, Agnes dengan wajah berseri-seri mulai meninggalkan bangku dan berjalan kembali hendak ke pilar. Namun belum sempat sampai disana suara sahutan seseorang tiba-tiba mengejutkannya dan membuat kakinya tergelincir.

HARAPAN (ANTON RIIZE #01) Where stories live. Discover now