18

53 6 0
                                    

"Mau ditaruh dimana muka papa! Tasya! " Teriakan pria paruh baya menggelegar di dalam rumah bersamaan dengan tangisan penyesalan dari anak perempuan yang berlutut di kaki. "Kamu Papa kasih kehidupan yang enak, Papa atur pendidikan kamu! Ngasih pendidikan yang cukup biar kamu jadi orang bener! Jadi orang yang punya pikiran! Bukan malah jadi kayak gini!"

"Pa, udah pa." Seorang wanita lebih muda dari laki-laki itu mencoba menenangkan suasana.

"Apanya yang udah! Hah?" Pria itu beralih memarahi sang istri. "Kenapa kamu masih belain dia! Ini salah ma...ini salah!"

"Mama tahu, Pa ... Tapi Tasya anak kita." Wanita itu terlihat mengkhawatirkan kondisi Tasya.

"Papa, maafin Tasya--"

"Jangan panggil papa! Saya tidak pernah mendidik anak saya untuk menjadi seperti ini... Didikan kotor seperti ini bukan hasil didikan saya."

"Papa!" Tasya semakin menangis kencang.

"Sekarang ngomong, siapa ayah dari anak itu?"

Tasya menggeleng.

"Belum mau ngasih tau juga? Apa harus papa acak-acak dulu entertainment yang kamu masukin itu?"

"Papa."

Tidak jauh dari sana, seorang pria yang tadinya mati-matian menahan diri sekarang terlihat pasrah begitu mendengar pertikaian di depan. Ingatannya teringat anak perempuannya, sekarang Tasya bukan lagi menjadi kandidat yang cocok untuk mendampingi si kembar. Ini masih belum terlambat.

“Papa enggak pernah ngajarin kamu kayak gini.” Nada pria paruh baya itu tegas namun bergetar. “Apa karena Papa enggak nge restuin kamu sama artis kontroversial itu? Makanya kamu balas dendam ke papa dengan cara seperti ini? Iya?”

“Enggak, Pa... Ini enggak ada sangkut pautnya sama Edward.”

Berdiri di celah yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah, Donzello Anton berusaha tenang seolah tidak melihat apa-apa. “Tasya,” panggilnya seraya melangkah berbaur .

Menoleh ke sumber suara, Tasya dan ibunya terlihat terkejut di tempat sedangkan kepala keluarga tanpa pikir panjang langsung memilih mendekati pendatang baru disana. “Jadi bukan Edward yah—“

“Ini.” Menunjukkan sebuah testpack di telapak tangan besarnya sendiri, Anton kemudian mendapatkan tamparan keras dari pria paruh baya di depannya.  Testpack sampai terjatuh ke lantai saat wajahnya terbuang ke samping.

Tak jauh dari sana sebuah mata cerah menangkap basah adegan tangan yang menampar, telinganya berdengung begitu mendengar bunyi yang dihasilkan. Otaknya merekam semua kejadian,dan itu membuat hatinya terguncang hebat.

Sebagai orang yang menempati posisi pertama di hatinya, Allen Balorima tidak bisa menerima tamparan yang diterima ayahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sebagai orang yang menempati posisi pertama di hatinya, Allen Balorima tidak bisa menerima tamparan yang diterima ayahnya. Kekerasn seperti itu tidak cocok dengan orang baik seperti ayahnya.

HARAPAN (ANTON RIIZE #01) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang