16

50 8 0
                                    

"Papa beneran mau nikah sama tante Tasya?" Allen Balorima menanyakan sendiri maksud dari tujuan sang ayah yang tiba-tiba membawa seorang wanita ke rumah dan itu bukan sebagai pengasuh.

"Yang bilang kayak gitu siapa?" Padahal Anton masih belum memberitahu tapi Allen sudah menebak langkahnya saja.

"Emang bukan yah?" Menelan makanannya sejenak, Allen kembali menambahkan, "Bukannya tante Tasya itu pacar papa?"

Pria itu menanggapi dengan setengah tertawa dan setengah mendengus.

"Iya kan?" Sebelum mendapatkan jawaban yang sesuai, Allen akan terus mencecar.

Mengusap pucuk kepala Allen dengan lembut, Anton membalikkan pertanyaan. "Ale sendiri mau enggak? Kalo tante Tasya jadi mama Ale?"

Jika itu benar terjadi Allen akan mendapatkan perhatian dari orang dewasa lain, ketika orang-orang bertanya mengenai keberadaan ibunya juga Allen akan mudah menjawab tanpa harus bertingkah angkuh menghindari pertanyaan seperti yang dilakukannya beberapa hari yang lalu. Jujur saja dia merasa lelah ketika orang-orang terus bertanya mengenai keberadaan ibunya yang Allen sendiri saja tidak mengetahuinya .

Dan ini sesuai dengan apa yang dibutuhkannya sekarang. Dengan Tasya yang menjadi ibunya nanti itu akan berguna entah di luar atau di dalam rumah karena dia sendiri juga membutuhkan perhatian. Dengan bergabungnya Tasya perhatian orang dewasa akan bertambah, Allen berharap Tasya akan lebih memperhatikannya, atau Agnes akan diserahkan kepada wanita itu dan papa akan fokus padanya.

"... Mau..."

Sang ayah juga sepertinya tidak keberatan malahan terlihat kesenangan dan benar-benar menyukai Tasya. Jadi Allen tidak perlu mengkhawatirkan apapun.

"Jadi nikahnya kapan?"

Membawa Allen untuk duduk di atas pahanya, Anton merangkul anak itu dari belakang. "Sabar yah."

"Sabar kok, Ale selalu sabar-"

"Pinter," balas Anton di tengah-tengah penuturan Allen.

"Emang Ale pernah enggak sabar? Enggak kan? Kalo pernah, itu pas kapan?"

"Iya iya." Tersenyum memaklumi, Anton menyenderkan kepalanya di bahu kecil Allen. "Ale selalu sabar kok ngadepin papa tapi enggak ke Age."

"Age nya juga gitu," ketus Allen cemberut sambil mengunyah makanannya dengan kesal. "Suka bikin kesel, egois."

Tiba-tiba Anton mengerjapkan mata. "Ale tahu egois enggak?"

"Orang yang maunya menang sendiri kan? Ale tahu papa... Ale kan pinter."

"Ale tahu itu dari mana?"

"Dari sekolah."

"Beneran sekolah ngajarin kayak gitu?"

Allen menganggukkan kepalanya singkat kemudian meralat. "Ibu ibu si yang pernah bilang ke Lein."

"Lein dibilangin apa sama ibu-ibu?"

"Jadi pas itu miss ngasih pertanyaan terus si Lein udah jawab tapi dia ngejawab pertanyaan anak lain yang dari miss. Kayak... Lein tuh harusnya udah diem kalo udah dikasih pertanyaan jangan malah ngejawab pertanyaan yang dikasih ke anak lain. Terus Ale denger ada ibu-ibu yang bilang katanya Lein egois karena pengennya pinter sendiri."

"Ale kalo disekolah gimana?"

Berpikir sejenak, Allen kemudian menjawab. "Enggak egois, tapi Ale kadang kesel sama Lein dia tuh suka banget ngerusuhin Ale biar Ale lama selesainya."

"Lama ngapain?"

"Lama selesainya--lama ngerjain tugasnya. Kalo Lein udah selesai lebih dulu, Lein bakal gangguin Ale."

HARAPAN (ANTON RIIZE #01) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang