22

53 5 0
                                    

"Age!"

Terhenyak dari kesenangannya sendiri, Agnes mendongak. Wajahnya tetap semringah bahkan cengengesan yang membuat Allen semakin jengkel dibuatnya. "Sini main air--"

"Itu air lagi Ale pake buat nyembuhin panas Papa! Bukan buat mainan Age!" Dengan kasar Allen menepis tangan Agnes dari baskom yang sudah menyimpan sedikit air. Hancur sudah keinginannya.

Mendapatkan perlakuan kasar membuat Agnes menepis balik tangan Allen sampai membuat kain bekas kompres terlempar ke kolong sofa yang sempit. Di puncak kesabarannya Allen yang kaget langsung mengecek posisi mendaratnya kain yang ternyata terlempar cukup jauh dan tentunya itu sudah menjadi kotor.

"Age kan cuman main air doang, emang enggak boleh?!"

Pernafasan anak kecil menjadi pendek dan tercekat, wajah tegasnya kembali ke posisi semula, menghadapi saudara perempuannya. "Ini air buat nyembuhin Papa! Bukan buat mainan Age!" Allen berteriak tidak karuan, meluapkan emosinya yang sudah lama terpendam.

Namun bukannya takut, Agnes malah menjawab dengan nada yang sama galaknya. "Tinggal ambil yang baru apa susahnya?! Enggak usah kasar ke Age!" Melampiaskan amarahnya, Agnes menendang baskom sampai menumpahkan air mengenai Allen yang sudah menatapnya dengan mata penuh amarah.

Diperlakukan semena-mena membuat Allen melempar kasar baskom yang telah kosong ke samping, mengenai meja di sebelah mereka. "Age bodoh! Bisa enggak si sehari aja enggak usah nyusahin orang!"

"Ale yang bodoh! yang lempar baskom kan Ale bukan Age."

"Ale capek punya saudara kayak Age!"

"Age juga capek punya saudara galak kayak Ale!"

"Age!" Allen mengepalkan tangannya, kaki kecilnya berlutut menghadapi saudara perempuannya yang duduk tenang menatap enteng kearahnya. "Age bisa enggak si sehari aja enggak usah nyari masalah? Age tuh tahu enggak si kalo Age itu suka ngerusuh suka cari musuh, enggak tahu situasi, suka bikin susah Papa! pembawa sial!" Tersadar dari kata-katanya yang cocok, Allen menegaskan sekali lagi, "Age pembawa sial!"

Perasaan yang awalnya dipenuhi main-main itu seketika berubah serius. Agnes terdiam merenung mencoba memahami maksud perkataan kembarannya itu.

Di tengah-tengah luapan emosi, mata merah itu mengeluarkan air bening panas, perkataannya serak namun tetap tegas. "Marahnya Ale enggak main-main... Jadi jangan ngeremehin Ale. Ale beneran capek punya saudara nakal kayak Age! Suka nyusahin orang!"

Untuk sesaat Allen melupakan nama asli saudara kembarnya itu. Dia membuat nama sendiri yang cocok untuk sosok benalu didepannya ini, seperti ; saudara perempuan yang nakal, serakah dan egois.

Ya, dari awal Agnes memang egois sangat egois. Tamparan yang ayah mereka dapatkan juga berkat keegoisan Agnes, Allen mendengar pengakuan dari mulut Agnes sendiri kalau anak itu menangis dimalam hari meminta sosok mama kepada ayah mereka.

"kalo aja Age enggak paksa papa buat nyari mama buat kita pasti papa enggak bakal ditampar kayak waktu itu!" Ceplos Allen dengan sengaja, hari ini ia tidak bisa menahan lebih lama lagi unek-unek nya. Saudara perempuannya itu harus tahu kalau kehadirannya hanya menjadi beban untuk dia dan ayahnya. "Ale kasian sama Papa emang Age enggak kasian sama Papa?"

Untuk beberapa kejadian Allen merasa jika Agnes hanya bisa menjerumuskan ayahnya dalam kesulitan.

Anak yang mendapat lebih banyak perhatian karena sifatnya yang ceroboh. Andai Agnes tidak ada di dunia ini, tidak ada dalam hidupnya, tidak dilahirkan dalam satu keluarga yang sama bersama mereka maka perhatian akan sepenuhnya tertuju padanya. Beberapa kali Allen merasa tertekan dan ingin berteriak meminta keadilan namun sepertinya tidak akan mempan, ayah mereka akan tetap sama membagi waktu. Lagipula dia sendiri juga tidak bisa mengungkapkan perasaannya kepada siapapun, lebih tepatnya bingung mengenai bahasanya jadi dia hanya bisa menangis seperti sekarang ini.

HARAPAN (ANTON RIIZE #01) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora