51

34.7K 4.3K 1.4K
                                    

"Zidane, lo kemana aja? Hampir seminggu lo nggak masuk, " celetuk Laksa saat melihat Zidane menelungkup wajahnya di atas meja. "Kangen lo tau nggak, kangen lo kasih contekan tugas sih, hehe. "

Thala melirik sekilas ke arah Zidane, pemuda itu jauh berbeda dengan yang dilihatnya beberapa hari yang lalu. Zidane bahkan tidak kunjung membuka suara, anak itu terlihat menutup diri, atau bahkan—entahlah? "Ngoceh mulu lo dari tadi. " Dia menarik kasar tangan Laksa, hingga membuat pemuda itu hampir terjatuh dari atas meja.

"Aduh, lo apaan sih?" Laksa mendengus pelan, dia akhirnya turun dari meja dan kembali duduk di tempat duduknya. Dia menatap ke arah Thala dengan alis tebalnya yang terangkat. "Kenapa sih Tha? Lu mau apa sih si Zidane kena guna-guna gitu? Dia aneh tau. "

"Dih, lo diem aja mending!" Thala mendengus pelan, keduanya sama-sama tersentak saat mendengar adanya pergerakan dari arah sampingnya, dan ternyata pemiliknya adalah Zidane yang kini meninggalkan kelas tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Kenapa?" Daffa melirik ke arah kedua temannya yang ada di sebelahnya, dia yang satu bangku dengan Zidane tentu merasakan keanehan dengan tingkah pemuda itu.

"Mungkin ada masalah?" Thala menyahut dengan sedikit ragu, membuat Daffa menyipitkan matanya dengan pikiran yang mulai liar. Thala mengalihkan pandangannya, dia tidak ingin jika Daffa malah curiga dengannya, sungguh—kejadian beberapa hari yang lalu tidak mungkin semudah itu dia umbar bukan? Dia hanya takut jika hal itu nantinya malah memperkeruh, terlebih Zidane sendiri bahkan tidak sadar dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri.

"Dia kenapa? Jangan-jangan—" Daffa membatin, dengan pikiran gamblangnya dia memikirkan kejadian yang telah berlalu. "Shit, nggak mungkin. " Dia langsung menepis pemikirannya sendiri, dan kembali menyibukkan dirinya.

Setelah dari kelasnya, Zidane berjalan menyusuri koridor dengan tujuan toilet. Dia ingin membasuh wajah, ya—sekaligus berwudhu berniat menenangkan pikirannya. Dia merasa bingung dengan dirinya sendiri, dia masih menolak ucapan dari laki-laki yang ditemuinya beberapa waktu lalu, dan setelah dia berbicara—dia kemudian pingsan dan berakhir di rawat di Rumah Sakit. Entahlah, dia juga sudah masuk bangunan tersebut.

"Gue udah nggak waras?"

Aneh—ini hanya pikiran gamblangnya.

Zidane menghembuskan nafasnya kasar, dia berencana akan kembali mencari identitas Zidane. Dia sudah pernah menggeledah kamar miliknya, dan dia berencana untuk ke Markas sore ini—karena dia ingat jika dia memiliki kamar pribadi di tempat itu. "Nggak lah. "

"Kenapa harus dia yang lo pilih?"

Zidane tersentak saat mendengar suara dari arah luar, pemuda itu dengan cepat berlindung di balik pintu.  Dan benar saja, tidak lama setelah itu melihat siluet laki-laki yang baru masuk ke dalam. Dia seakan menahan nafas, karena takut keberadaannya diketahui.

"Gue nggak mau lagi awasi dia. Gue nggak tau apa yang lo liat dari dia, dia itu bodoh dan naif! Gue udah bilang sama dia buat waspada sama orang terdekatnya, dan lo tau? Dia bahkan nggak berbuat apa-apa sampai sekarang! Apa yang lo harapkan?"

"Dia—Alvero?" Suara itu terasa familiar di benak Zidane, dia mengintip sedikit dan melihat laki-laki yang berdiri di depannya tengah berbicara dengan seseorang di balik sambungan telepon. Dia nampak menunggu balasan dari sambungan telepon tersebut, dan Zidane sama sekali tidak bisa mendengarnya.

"Apanya yang kurang jauh Bang? Gue udah awasi dia seperti yang lo bilang. Dan nyatanya apa yang gue dapat? Makin lama gue awasi dia, gue cuman bisa liat kalo dia itu bodoh. Gue nggak tau kenapa, semuanya berbanding terbalik dengan apa yang gue denger dari lo pertama kali, dia nggak pernah ngelawan, dia juga bukan orang yang mudah terbawa emosi, tempramental! Dia bahkan nggak pernah ngelawan Feri—lagi, dia cuman diam. "

Transmigrasi Mantan SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang