41

38.2K 4.8K 671
                                    

Suara riuh tepuk tangan memenuhi lapangan saat nama Zidane disebutkan, pemuda itu melangkahkan kakinya menuju ke tengah lapangan, dengan raut wajahnya yang nampak datar. Namun jika dijabarkan, pemuda itu menahan malu—dia benar-benar tidak berekspektasi jika pengumuman hasil lomba olimpiade sekitar seminggu yang lalu akan diumumkan sesudah upacara bendera hari ini.

"Selamat. " Sang Kepala Sekolah menepuk pundak Zidane, dengan senyuman tipis yang terukir. "Setelah sekian lama, akhirnya sekolah kita berhasil untuk mendapatkan peringkat pertama. Saya mewakili pihak sekolah sangat berterimakasih denganmu. "

"Saya yang seharusnya berterimakasih Pak, tanpa pengajar disini saya juga tidak bisa mendapatkannya. "

Senyuman kepala sekolah kembali mengembang. "Kamu anak yang baik, silahkan diterima. " Zidane sendiri menerima bingkisan yang disodorkan kepala sekolah tersebut, dan juga amplop putih yang entah apa isinya. "Mungkin ini tidak seberapa, anggap saja pihak sekolah menghargai kerja kerasmu. Silahkan berbaris di sana dengan yang lain. "

Zidane mengangguk, dia melangkahkan kakinya untuk bergabung dengan temannya yang lain. Dia menghela nafas panjang, betapa banyaknya sorot mata kagum siswa-siswi terarah padanya. Dan dia merasa belum terbiasa dengan hal ini.

"Sekali lagi, saya ucapkan terimakasih kepada penyumbang piala tahun ini. Saya berharap yang lain bisa mengikuti jejak mereka, dan saya juga berharap akan ada generasi selanjutnya yang kembali bisa menyumbangkan peringkat pertama untuk sekolah. "

"Yang—seperti Zidane, sudah beberapa tahun lamanya sekolah ini tidak bisa mendapatkan peringkat pertama, dan akhirnya tahun ini Zidane bisa mendapatkannya. Semoga semuanya bisa meningkat pesat. " Suara tepuk tangan riuh kembali terdengar, hal itu hanya membuat Zidane menundukkan kepalanya, dengan helaan nafas.

Acara kini sudah selesai, bel tanda masuk juga sudah dibunyikan. Masing-masing dari mereka akhirnya pergi menuju kelasnya, sementara Zidane dia masih berdiri di tengah lapangan bersama guru-guru yang perlahan mulai bubar. Saat dia ingin melangkahkan kakinya untuk ke pinggir lapangan, suara seseorang membuatnya mengurungkan niat.

"Selamat buat lo, lo keren. " Callie—gadis yang sempat menjadi partner olimpiade nya, tersenyum tipis menatapnya. Gadis itu mendapatkan peringkat ketiga, sama seperti dengan Selly.

"Thanks, lo juga selamat. " Zidane membalas dengan suara yang masih terdengar datar. Callie dibuat mengangguk-angguk, dengan senyuman yang masih terpatri di bibirnya. Dia sebenarnya sudah terbiasa dengan sikap dingin Zidane seperti ini, namun jauh di dalam pemikirannya dia rasa Zidane bersikap seperti ini hanya kepada perempuan. Saat dia melihatnya bersama teman-temannya, Zidane nampak seperti manusia pada umumnya.

Suara-suara berisik terdengar, keduanya mendadak terfokus kepada dua orang yang tengah bercengkrama di belakang. Zidane hanya menatap sekilas ke arah Bastian juga Selly, yang dia rasa sudah resmi menjadi sepasang kekasih, lain halnya dengan Callie yang mendadak panas melihat keduanya.

"Apa bagusnya Selly?" Callie menatap ke arah Zidane. "Apa bagusnya si Selly menurut lo?"

Zidane menaikkan alisnya.

"Gue tau lo faham, " balas Callie dengan helaan nafas kasar. "Menurut lo, apa bagusnya Selly di mata lo? Kenapa Bastian milih dia dibandingkan gue? Dari sudut manapun gue lebih dari dia, dia rendahan. " Callie mengucapkan dengan sedikit emosi yang terkumpul.

Zidane sempat tertegun, dia sama sekali tidak tau perkembangan kisah asmara ketiganya ini. Yang terakhir dia tau saat olimpiade—Selly menatap Bastian dengan sorot mata yang aneh di matanya. Namun saat melihat keduanya tadi, dia rasa mereka saling mencintai. Zidane sendiri sebenarnya tidak peduli, mau saling mencintai atau tidak, menurutnya pacaran sebelum adanya akad pernikahan itu tetap saja haram.

Transmigrasi Mantan SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang