01

117K 4.9K 250
                                    

"Lo kenapa?"

Zain, pemuda itu terkekeh pelan saat mendengar pertanyaan dari seberang telpon. "Gue abis putus. "

"Putus? Beneran?"

"Iya, dia selingkuh sama kating. " Zain membalas seadanya, hatinya berdenyut nyeri saat mengingat beberapa saat lalu dia melihat bagaimana kekasihnya itu bermesraan di sebuah Cafe yang terletak tak jauh dari kampusnya. Dia memang baru mengenal gadisnya itu saat di bangku kuliah, namun rasa cintanya itu begitu dalam.

"Sakit hati gue, Ji. Langsung gue labrak. Kurangnya gue apa? Gue udah beliin apa yang dia mau, gue juga ngertiin dia yang selalu lama kalo bales chat. Belum lagi yang lain, kenapa dia malah selingkuh?"

"Ada baiknya lo putus aja, Zain. " Helaan nafas terdengar dari seberang sana, sebut saja dia Panji.  "Gue rasa, semenjak lo sama dia, lo banyak berubah. Pergaulan lo tuh berubah semenjak masuk kampus, jangan pernah lupa kalo lo itu santri—"

"Mantan santri. " Lantas Zain dengan cepat membalas. "Gue udah lama lulus, setahun yang lalu. "

Panji di seberang sana terkekeh. "Nggak ada sejarahnya mantan santri. Santri ya tetep santri, Zain."

"Lo nggak sadar apa? Mungkin ini cara Allah buat lo kembali ke jalan yang lebih baik, dan inget nggak ada yang namanya mantan santri. Walaupun lo udah keluar, lo masih santri, jangan lupa buat pulang. Lo nggak rindu apa sama lo yang dulu? Gue yang selalu insecure sama lo waktu itu, apalagi hafalan Al-Qur'an lo yang lebih banyak, dan lo juga mutqin. Dan berapa banyak kitab yang berhasil lo fahami? Lo nggak rindu apa semua itu?"

Zain lantas terdiam mendengarnya. Panji, laki-laki itu adalah teman sekamarnya saat dia di Pondok, sosok laki-laki itu tidak terlalu menonjol, justru dialah yang menonjol. Kerap kali dia membanggakan Pondoknya dengan kemampuannya, namun hal itu seakan sirna saat dia mulai memasuki bangku kuliah.

Zain Asher Al-Ghifari, itulah nama lengkapnya. Dia lahir di tengah-tengah keluarga yang saling menyayangi satu sama lain, tumbuh di keluarga yang taat akan agama.

Zain, pemuda itu adalah seorang santri di Pondok Pesantren Al-Malik yang mengalami kelulusan di tahun yang lalu. Saat kelulusan, dia merupakan penyandang predikat terbaik ke tiga diantara ratusan santri, dengan total hafalan 20 juz Al-Qur'an, dan beberapa kitab yang mampu dia kuasai. Dia yang selalu menomor satukan ibadahnya, dan sibuk untuk membuat bangga kedua orang tuanya. Dan dia tidak pernah berpikir jika dunianya yang sempurna itu, hancur begitu saja.

"Sebelum semuanya terlambat, Zain. Kasian orang tua lo, selama ini lo cuekin mereka karena mereka nggak setuju lo pacaran kan?" Panji kembali bersuara di seberang sana. "Berubah Zain, gue nggak pengen sahabat gue nanti tersiksa di akhirat sana. Gue mau bareng-bareng terus sama lo, dalam jalan kebaikan. "

"Gue tutup, assalamualaikum. " Tanpa menunggu jawaban seberang sana, lantas Zain langsung menutup telpon tersebut. Dia menatap nanar ke arah langit-langit kost yang dihuninya setahun terakhir. "Gue salah?"

Belum lama dia merenungi, terdengar suara telpon lagi. Dia ingin sekali memarahi orang tersebut karena mengira dia adalah Panji, namun ternyata salah. Orang itu adalah teman satu kelasnya di kampus. Tanpa pikir panjang dia langsung mengangkatnya. "Ada apa?"

"Lo galau?" Alis tebal Zain terangkat. "Kuy balapan, disini lo bisa lupain kegalauan lo. Taruhannya juga nggak main-main. "

"Dimana?" Zain nampak sedikit antusias. Dia pikir, balapan bisa menenangkan otaknya sekarang karena kehabisan untuk berpikir. Mungkin nanti, dia akan memikirkan ucapan yang dilontarkan sahabatnya itu.

"Jalan biasa, sebentar lagi mulai. "

"Gue otw. " Zain langsung bergegas untuk pergi.

••°••

"Weh Zain!" Laki-laki dengan rambut ikal itu langsung menyambut kedatangan Zain. Dia menepuk pundak laki-laki itu dengan tenang. "Gue yakin sih lo bakalan dateng. "

Zain hanya diam menatap ke arah kerumunan orang-orang di sana, dia jadi teringat kehidupannya saat di Pondok. Sebelumnya dia tidak pernah menginjakkan di tempat yang seperti ini, dengan berbaur laki-laki dan perempuan, dan perempuannya pun hanya memakai rok pendek, dan baju ketat.

"Zain, bentar lagi tuh mulai, " ujar cowok tersebut. "Gue udah daftarin sih, taruhannya lima juta. Sanggup kan?"

Zain hanya mengangguk, kemudian menjalankan motornya ke garis start setelah mendengar instruksi dari pemandu acara. Dengan mata tajamnya, dia menatap ke arah lintasan yang banyak kelokannya. Dan mungkin, di jam-jam seperti jalanan yang masih ramai, jadi dia harus berhati-hati.

"Ready?" Sosok gadis itu bersuara, diikuti gemuruh penonton yang kian bersahutan. Dan suara kenalpot motor peserta yang juga mulai bersuara. Salah satunya adalah Zain. "Go!" Gadis dengan rok pendek itu melemparkan sebuah sapu tangan di tangannya ke udara. Kelima motor yang menjadi peserta itu langsung menancap gas meninggalkan garis start.

Zain nampak menambah kecepatan motornya penuh, disini sebenarnya dia tidak perduli dengan taruhannya, melainkan bagaimana dia akan melupakan masalahnya dengan balapan seperti ini. Dia perduli dengan sekitarnya. Salah satu lawan Zain, nampak menatap tak percaya. Zain lebih dulu memimpin, dengan gilanya laki-laki itu menembus ramainya jalanan. Dia pun ikut menambah kecepatan, dan terjadilah aksi kejar-kejaran kelima motor tersebut.

"Woy! Polisi ngejar!"

Suara salah satu lawan Zain, membuat laki-laki itu mengerutkan keningnya. Di belakangnya, ternyata ada tiga motor polisi yang mengejar kelimanya.

"Aduh!" Zain mendesah frustasi. Bisa dia lihat jika perlahan lawannya mulai menghilang karena mengambil jalan-jalan yang lain untuk menghindari polisi, sementara Zain masih frustasi karena dia tidak terlalu hafal jalanan yang ada di tempat ini.

Zain menancap pedal gasnya lagi, saat polisi tersebut mulai mendekati motornya dengan beberapa ancaman yang keluar dari mulutnya. Zain yang sudah menancap gas hampir seluruhnya, membuat detak jantungnya berdetak kencang. Setelah sekiranya dia mulai jauh dari polisi tersebut, seulas senyuman terbit saat dia mulai lepas dari kejaran polisi tersebut.

Namun, hal yang dia tidak sadari, jika dia sudah tiba di persimpangan. Dia yang sudah mulai hilang kendali, langsung saja menerobos lalu lintas, hingga sebuah truk melaju berlawanan arah tengah melaju ke arahnya.

Brak!

Tubuhnya terhantam oleh benda keras tersebut, dan terlempar beberapa meter dari tempat kejadian. Darah pun mengalir deras dari kepala hingga hampir seluruh wajahnya tertutup oleh darah. Dia meringkuk kesakitan, saat tubuhnya seakan tidak berdaya di aspal.

Beberapa orang mulai mengerumuninya, suara sayup-sayup seseorang menangis dengan memeluk tubuhnya yang berlumuran darah. "Zain, bertahan. "

Zain menatap mata legam laki-laki itu, kemudian memaksakan untuk bisa tersenyum. "Panji .... "

"Bertahan ya, jangan tutup mata lo, " lirih Panji dengan air mata yang tertahan. Matanya celingak-celinguk mencari bantuan, kemudian berteriak parau pada orang-orang yang mengerumuni mereka. "Pak, panggilin ambulance! Tolong temen saya!"

"Iya Dek, ambulance nya dalam perjalanan, " sahut bapak-bapak yang ada di sana.

"Ji. " Zain memegang tangan Panji, yang membuat laki-laki itu kembali menoleh ke arahnya. "Maafin gue ya, gue nggak dengerin nasihat lo. T-tolong sampaikan maaf gue ke keluarga gue, gue takut—"

"Nggak!" sahut Panji tegas. "Lo jangan ngomong macem-macem, nggak usah banyak bicara! Tenaga lo bakalan terkuras!"

Zain mengerang kesakitan, hal itu membuat Panji semakin panik. Di ambang kesadarannya, Zain menatap ke arah langit dengan nafas yang semakin sesak. "Ya Allah, tolong beri hamba kesempatan untuk hidup, hamba ingin berubah. " Dan setelahnya, kegelapan mengambil alih kesadarannya.

"Nggak! Zain!"

"Woy! Cepetan tolongin sahabat gue!" teriak Panji dengan tangis memilukan. Jika saja, dia langsung datang ke kost sahabatnya, mungkin hal ini tidak akan terjadi.

"Zain, bangun! Jangan tinggalin gue!" Nihil, hanya tangis memilukan saja yang terdengar, Zain sudah menutup matanya rapat. Dan tak lama setelahnya, suara sirene ambulans mulai tiba di lokasi.

Tbece

Transmigrasi Mantan SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang