19

38K 3.4K 100
                                    

Seperti yang direncanakan di sekolah, kini Zidane berada di depan Markas yang dituju. Dia tentu tidak sendiri, melainkan ada Thala, Laksa dan juga Daffa yang memang biasanya kemari sepulang sekolah.

"Lo udah ngechat anak-anak?" Thala sedikit berbisik pada Laksa yang kini menggelengkan kepalanya pelan.

"Nggak sempet Tha, mana gue kira dia main-main doang. Emang dia sudi kesini?" balas Laksa sembari menatap ke arah Zidane yang masih setia menatap bangunan di depannya. "Biasanya kan dia dateng kalo ada masalah doang, kita yang jadi pelampiasan. "

Thala tidak membalasnya, melainkan berjalan ke arah Zidane kemudian menepuk pundaknya. "Ayo masuk, " ujarnya sedikit ragu, sementara Zidane mengangguk bersemangat. Lebih dulu Thala memimpin, diikuti oleh Zidane dan dua yang lainnya.

Zidane semakin dibuat takjub, bangunan itu nyatanya menyimpan hal yang tersembunyi. Dari pertama melihat bangunan itu, nampak sedikit kumuh, dia benar-benar tidak berekspektasi jika di dalam bangunan tersebut benar-benar mewah. Bangunan bertingkat 2, dengan jejeran ruangan yang entah ruangan apa itu. Dan di tengah ruangan, mulai terlihat adanya anggota, ada yang bermain game adapula yang bersantai dengan cemilan sambil menonton televisi.

"Khem!" Suara deheman dari Daffa seakan memberi instruksi, beberapa dari mereka langsung sadar akan kehadiran anggota inti. Sebenarnya mereka tidak perlu berdiri dan memberi salam penghormatan kepada anggota inti yang sudah biasa mereka temui, hal itu semata-mata karena melihat sosok Zidane di sana.

Yang mereka sangat hafal, ketua mereka adalah orang yang gila hormat. Bahkan dia tidak segan-segan memberi pelajaran orang yang menurutnya tidak menghormatinya. Zidane mendadak canggung dengan situasi ini, meskipun dia tidak heran lagi dengan hal semacam ini, karena terbaca saat dia mengingat novel tersebut.

"Nggak usah nunduk sama gue, biasa aja—anggap gue kayak mereka bertiga, nggak ada yang diistimewakan. " Zidane bersuara dengan terdengar datar, yang membuat Laksa sempat menoleh ke arahnya untuk memastikan. Aura yang dikeluarkan Zidane seakan mendominasi ruangan ini, padahal sebelumnya dia tidak merasakan hal semacam ini pada Zidane.

Semuanya saling bertukar pandang, meskipun begitu tidak ada yang berani untuk mengangkat kepala. Ini seperti bukanlah ketua mereka, saat dulu mereka mengangkat kepala walau hanya sedikit, Zidane akan langsung memukul mereka, bahkan parahnya bisa saja sampai tidak sadarkan diri. Namun sekarang? Ketua mereka ini malah menyuruh mereka untuk mengangkat kepala setelah apa-apa yang terjadi sebelumnya.

"Setakut itu?" Zidane tersenyum miris. Dia miris saat merasa Zidane yang dulu sangatlah salah untuk membuat mereka seperti ini. Entah apa yang dipikirkannya Zidane asli sampai-sampai membuat tatapan takut tercetak jelas di mata mereka.

"Kalian nggak denger?" Daffa mengangkat suaranya sambil menatap mereka bergantian. "Ketua minta lo pada angkat kepala, nggak usah nunduk!" Suaranya terdengar tegas, yang membuat mereka langsung saja mengangkat kepalanya dengan sedikit ragu.

"Daffa lebih pantas jadi ketua, " gumamnya, yang membuat Thala yang bersampingan dengan Zidane menatap ke arahnya dengan kerutan.

"Gue nggak salah denger?" batinnya.

"Kalian lakuin aja kebiasaan kalian kayak biasa, gue cuman liat-liat sedikit. " Zidane berjalan meninggalkan tempat itu, untuk masuk lebih dalam. Dia akan menyusuri ruangan-ruangan yang ada disini, untuk mengetahui lebih dalam.

Setelah Zidane menghilang dari pandangan mereka, salah satu berdecih tidak pantas. "Ngapain sih dia kesini?" Bimo—anggota yang sama, yang merendahkan Zidane waktu itu bersuara. Dia menatap tidak suka kepergian Zidane tadi, namun tidak urung dia tidak bisa menunjukkannya secara terang-terangan sikapnya pada Zidane.

Transmigrasi Mantan SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang