18

3 2 0
                                    

“Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!
Bismillahirrahmanirrahim..”

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ مُحَمَّدٍ{◆}

"Metha lo liat Humta gak?" Tanya Revalina.

"Nggak tuh, bukannya tadi lo bilang dia di ruang kesehatan? Liat aja disana, siapa tau masih ada disana."

"Oke, thanks," Revalina berlari menuju ruang kesehatan bersama dengan tas ransel Afifah. "Hum-- lo kok ada disini?"

Ryan menoleh. "Tadi gue telpon Hima, dia nangis makanya gue kesini."

Revalina mengangguk mengerti. "Syukur deh Humta punya suami yang sayang banget sama dia kayak lo, seenggaknya ada yang bisa menemani dia dikala dia sedih."

"Seburuk itukah ucapan si oli sampai istri gue nangis sampai segitunya?"

"Ya... gimana ya.. jelas bagi seorang perempuan, apalagi sosok perempuan seperti Humta nggak ada yang lebih menyakitkan dari pada fitnah tentang kesucian dirinya. Jelas kalau gue jadi Humta, udah gue cekek tuh orang!"

Ryan menatap sendu Afifah. "Oh ya, ini tasnya, kalau lo mau keluar bareng Afifah nyamar jadi bang Gavin dulu ya. Gue pamit."

"Hmm.."

"Gue titip sahabat gue. Jaga dia sampai surga."

"Serem amat!"

"Kok serem sih? Gue tuh ngedoain kalian masuk surga!"

"Ya tapi nggak sekarang juga kalee!"

"Serah lo! Gue balik!"

Drtttt... Drtttt...

Afifah yang sedang tidur, terbangun mendengar dering telpon Ryan. "Siapa sih yang nelpon ganggu istri gue tidur aja!" Protesnya.

"Hah apaan?"

"Gak papa sih cuman mau ngetes doang, tadi gue beli paket data udah masuk apa belum." Jawab Xion dengan entengnya.

"Lo! Astaghfirullah! Heh Xion serandom-randomnya orang nggak ada tuh yang serandom lo! Istri gue lagi tidur aja sampe kebangun!" ucap Ryan langsung mematikan telpon.

Afifah yang melihat itu pun hanya bisa terkekeh dengan tingkah lucu suaminya. "Pulang yuk kak.."

"Ayo." Ryan membantu Afifah menuruni ranjang dan menggandeng tangannya. "Gue gak akan biarin lo lepas dari pandangan gue, Hima dan Ryan harus bisa bersama sehidup semati."

"Tapi kalau sekiranya Allah lebih dulu memanggil Afifah--"

"Ssssst!" Ryan meletakkan jari telunjuknya di bibir Afifah. "Gue gak bakal ikhlas, kalaupun harus ada yang pergi duluan maka itu harus gue orangnya. Gue gak mau ditinggal sama lo, yang ada nanti gue balik kayak dulu."

"Tapi Afifah juga nggak mau ditinggal sama kakak..."

Ryan menghentikan langkahnya, membuat langkah Afifah juga terhenti. Ia menoleh pada kolam ikat yang berada di sisi kiri mereka. "Kalau begitu kita harus bisa terus hidup, karena benar kata Xion, kita itu bagaikan air dan ikan yang tidak bisa hidup tanpa satu sama lain. Air mungkin bisa hidup meski tanpa ikan, tapi percayalah.. air tanpa ikan hanya akan memberikan kesan membosankan yang tidak menyenangkan."

"Seperti Afifah yang terkesan membosankan tanpa kakak 'kan?"

"Nice, lo ngerti maksud gue! Istri pintar!" ucapnya bangga.

Mereka tertawa bersama, mengundang perhatian anak-anak yang sedang mengikuti ekskul. "Kak Humta!" Gadis itu berlari menghampiri Afifah.

"Assalamu'alaikum, Jihan!"

"Wa'alaikumussalam, ini siapa kak?"

Afifah dan Ryan saling melempar pandang. "Gue.. eee... abangnya." Ryan tersenyum kaku.

"Ouh... tapi ini bukan bang Gavin? Ini siapa?" tanya Jihan lagi.

Afifah terkekeh melihat kebingungan dalam wajah Ryan. "Gue Ryan, abang Hima yang tinggal jauh," jelasnya.

"Ouh... ngapain kakak disini?"

"Jemput istri-- eh, jemput adek maksudnya!"

"Istri?" Jihan mengerutkan keningnya.

"Eh itu ya.. eee... istri gue ngajar di tk deket sini makanya gue sekalian jemput adek.. haha..." alibi Ryan membuat Afifah dengan refleks mencubit pinggulnya.

Ryan menoleh dan mendapati Afifah yang menatapnya kesal. "Auto kena omel ini mah..." batin Ryan.

"Jihan, kakak pulangnya. Kasian istri kak Ryan nungguin." pamit Afifah dengan menekan kata 'istri' pada kalimatnya.

"Oh iya, kak hati-hati."

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam!" Jihan melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan mereka.

Terjadi keheningan didalam mobil. Afifah yang sepertinya masih kesal itu hanya diam seraya membaca buku biografi Rasulullah itu bahkan tidak menunjukkan senyum yang biasanya terpancar dari matanya.

"Ekhemm..."

Ryan berdeham mencoba mencairkan suasana. "Mau minum?" tanya Afifah tanpa menoleh.

"Hima... pleaseee.. jangan marah ya? Tadi gue bilang gitu juga demi kebaikan lo kok..." Afifah diam tidak menjawab.

"Emang harus banget ya alibinya istri? Kan kakak bisa bilang mama atau istri kakaknya kakak gitu emang enggak bisa?"

Ryan menghela nafas. "Kalo gue bilang mau jemput mama atau istri dari kakak gue nanti bohongnya tambah parah dong? Gue sama mama gue nggak akur, gue nggak punya abang dan abang lo juga belum nikah!"

Afifah diam, ia kembali fokus membaca buku tanpa menghiraukan Ryan yang sangat khawatir karena ini adalah kali pertama Afifah marah padanya.

"Maafin gue.. gue mohon maafin gue... istri gue yang cantik yang baik, yang tulus, yang perhatian, yang gak pernah marah... maafin gue ya? Ya? Ya? Ya?" bujuk Ryan seraya menggenggam sebelah tangan Afifah dan menyetir dengan satu tangan.

"Eh..? Kok lo malah nangis?" Ryan menepikan mobilnya. "Kenapa? Gue salah banget ya? Hima.. maafin gue.. please.. i'm sorry.."

Afifah menggeleng. "Jangan minta maaf... kakak nggak salah! Jangan minta maaf!" Afifah memeluk Ryan. 

"Astaghfirullah... gue pikir karena saking keselnya lo sampe nangis..." Ryan mengelus lembut kepala Afifah. "Udah lo tenang, sekarang kita pulang ya?"

"Hmm..." Ryan mencium mata Afifah.

"Mata cantik lo ini nggak cocok dipake nangis, lebih cocok berbinar disaat senang..."

༻꫞ 𝑇𝑜 𝐵𝑒 𝐶𝑜𝑛𝑡𝑖𝑛𝑢𝑒꫞༺

𝐴𝑠𝑠𝑎𝑙𝑎𝑚𝑢'𝑎𝑙𝑎𝑖𝑘𝑢𝑚 𝑤𝑎𝑟𝑎ℎ𝑚𝑎𝑡𝑢𝑙𝑙𝑎ℎ𝑖 𝑤𝑎𝑏𝑎𝑟𝑎𝑘𝑎𝑡𝑢ℎ!

𝑆𝑒𝑘𝑖𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑙𝑢𝑝𝑎 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑗𝑎𝑘
(𝑀𝑒𝑠𝑘𝑖 𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑔𝑎𝑘 𝑏𝑎𝑔𝑢𝑠)
𝑉𝑜𝑡𝑒 ⭐
𝐶𝑜𝑚𝑚𝑒𝑛𝑡 💬

𝑇𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑘𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑤𝑎𝑠𝑠𝑎𝑙𝑎𝑚𝑢'𝑎𝑙𝑎𝑖𝑘𝑢𝑚 𝑤𝑎𝑟𝑎ℎ𝑚𝑎𝑡𝑢𝑙𝑙𝑎ℎ𝑖 𝑤𝑎𝑏𝑎𝑟𝑎𝑘𝑎𝑡𝑢ℎ ^^

My Home Is My HeavenWhere stories live. Discover now