18. Masalah

59 4 0
                                    

Alya yang sedang kacau memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar rumah. Alya yang tinggal di sebuah komplek perumahan ke luar sebentar untuk menuju jalan raya, ke tempat ramai yang bisa membuat pikiran Alya tidak terlalu sunyi.

Sesekali Alya mengusap air matanya yang hampir jatuh, tangannya yang lebar hanya bisa menahan sebentar karena setelahnya lagi tetesan bening itu kembali menunjukkan diri.

Di saat penglihatannya agak buram Alya berhenti sebentar ia. Ia memandang beberapa mobil yang melaju kencang, hingga membuat Alya menghela napas kasar. Haruskan Alya membenturkan dirinya sendiri kepada mobil yang melintas dengan kecepatan penuh itu?

Mendadak pikiran Alya bergejolak. Hatinya terlalu sakit dan Alya butuh obat. Namun, sejauh mana Alya mencari, yang ditemukan hanya luka baru.

Tapi tidak, Alya tidak mau egois. Ia bisa saja menabrakan diri, tapi bagaimana jika yang celaka bukan hanya Alya. Belum lagi bunuh diri bukanlah jalan yang benar.

Biarkan saja dirinya berjalan dengan tenang, mencari solusi agar ada jalan keluar disaat Alya sudah siap pulang.

Akan tetapi, saat Alya memutuskan untuk lanjut berjalan, seseorang mendorongnya ke tengah jalan.

Kejadian itu begitu cepat, saat Alya sadar ia sudah ada di tengah jalan, merasakan sebuah mobil menghantam tubuhnya dengan keras.

Panasnya Aspal tidak lagi terasa, tubuhnya mati rasa. Bukan karena tidak ada rasa, justru sakitnya yang terlalu banyak membuat pikiran Alya tidak fokus. Rasanya Alya hanya diam dengan tangis dalam hati, mata Alya yang tadinya buram karena kebanyakan menangis, sekarang berlahan kehilangan penglihatan sebab sudah menyerah untuk tetap sadar.

Sebelum benar-benar matanya menutup sempurna, Alya bisa melihat seorang tersenyum tidak jauh dari tempat terakhir Alya tergeletak. Tidak lama, karena banyak orang setelahnya datang untuk mengerubungi Alya yang mulai diambang kesadarannya.

"Kenapa jalannya harus begini?" batin Alya yang tidak bisa berpikir jernih lagi.

***
Alya pikir hidupnya berakhir. Dengan harapan besar Alya bisa mengakhiri penderitaan tanpa bunuh diri. Namun, saat mata Alya terbuka, ruangan serba putihlah yang Alya tangkap lewat sorot matanya.

Ayah Alya yang menemani Alya di ruangan bergegas berdiri. Beliau mungkin sadar kalau Alya telah membuka mata.

Entah berapa hari Alya baru sadar, yang jelas rasanya badan seperti remuk. Tidak bisa Alya menjabarkan rasa sakitnya, yang jelas Alya hanya berharap semoga ayahnya peka kalau sekarang ini Alya merasa sedikit haus.

Alya masih kaku untuk membuka suara. Selain karena mengingat pertengkaran terakhir kali, tenggorokan Alya terasa amat sakit. Namun, di saat Brama sudah dekat dengan Alya, tatapannya tajamnya yang anaknya itu terima.

Plak.

Alya kaget, itu sudah pasti. Di saat sedang sakitpun Alya tetap mendapat tamparan ayahnya. Hanya beberapa saat Alya sadar, tapi sekarang Alya berharap bisa tidur lagi lebih panjang.

Brama tanpa belas kasihan, menambah luka anaknya batin maupun fisik. "Sudah berani bunuh diri, heh?!"

Alya mendongak, menatap wajah Bram sedikit takut, tapi ia juga harus mengatakan yang sebenarnya.

"Saya kira mengadopsi kamu akan menguntungkan, tapi malah merugikan," sinis Bram yang menumpahkan kekesalan hatinya.

Dengan decihan keras, Brama juga menjambak rambut Alya hingga anaknya itu semakin kesakitan. "Kamu hanya bikin malu, sudah gendut sekarang mau buat keluarga kami buruk di mata publik, hah? Kamu ingin ayah ibumu disorot sebagai orang tua yang tidak becus urus ana?!"

Alya menggeleng, ia menangis lagi karena sakir jambakan ayahnya mempengaruhi sakit tubuhnya yang lain. Alya sangat menderita sekarang.

Alih-alih hanya melepaskan tarikan rambutnya kepada sang putri, Brama malah kembali menampar pipi Alya agak keras.

"Kamu ingat ini, mulai sekarang jangan pernah berani lagi kembali ke rumah. Kamu saya usir!" pesan Brama yang setelah itu meninggalkan ruang rawat Alya tanpa perasaan.

In Love (END)Where stories live. Discover now