"Harusnya Age enggak ada di dunia ini."

"Ale..." Suara anak perempuan yang baru berani membuka suara itu bergetar, mata besarnya mengkilap di tengah-tengah lampu ruangan yang masih dibiarkan menyala, tenggorokannya bergerak ketika dipaksa menelan ludah yang susah ditelan. "Ale ini beneran?"

"Harusnya Age enggak ada dirumah ini. " Allen menganggukkan kepalanya sambil terus menangis, mengundang air mata bening keluar dari mata saudarinya. "Harusnya Ale enggak punya kembaran kayak Age, harusnya kita enggak jadi anak kembar biar Papa cuman punya Ale dirumah ini...  biar Papa juga enggak setres nyari mama buat Age."

"Ja-jahat... Jahat banget..." Berderai air mata, Agnes menangis sesenggukan sambil mencoba melontarkan isi hatinya yang sudah terlanjur sakit. Dia kemudian memutuskan untuk berteriak ketika sudah beranjak berdiri, matanya menatap benci sosok Allen Balorima. "Ale lebih jahat dari orang-orang itu!" Orang-orang yang pernah memusuhinya secara terang-terangan.

Menelan ludah yang sudah menumpuk di tenggorokan, Allen menatap tersedu-sedu kepergian Agnes . Kepalanya menoleh kearah baskom di kaki meja kemudian mengambilnya setelah mengusap jejak air mata di wajahnya.

Setelah terbuka dan mendapatkan penghuni, pintu kamar itu kembali tertutup dengan cepat oleh tangan anak kecil yang sama. Kakinya berlari kearah ranjang dan menaikinya, tangan  Agnes menarik dan memeluk boneka kucing sebelum akhirnya kembali menangis disana.

Sedangkan di dapur Allen Balorima kembali mendapatkan semangatnya memberikan pelayanan kesehatan untuk sang ayah. Namun dalam keseriusan itu bekas kesedihan tidak menghilang sedikitpun dari wajah tampannya, kulit putih selalu merespon tangisan dengan berlebihan sehingga menimbulkan sedikit ruam merah di beberapa bagian wajah seperti hidung dan pipi.

Jendela di sebelah lemari terlihat buram oleh air mata, tiba-tiba sosok Allen terlintas di benaknya,  membuat Agnes mengecilkan suara tangisnya dan berhenti. Jari telunjuknya memainkan pelan bibir pinky sambil menatap kosong udara.

Kemarahan Allen benar-benar mengerikan dan apa yang keluar dari mulut anak laki-laki itu benar-benar membuatnya sakit hati. Apa dia benar-benar tidak pantas berada di dunia ini? Kenapa Allen bisa mengatakan hal menyakitkan seperti itu? Tanpa sadar Agnes kembali mengerutkan bibir, air bening kembali merembes namun tidak dapat membangkitkan suaranya lagi. Dia tiba-tiba merasa tidak nyaman dirumah ini.

"Papa masih belum mau bangun?" Allen Balorima menarik tangannya setelah berhasil mengompres kembali kening Anton.

Pikirannya teringat kejadian tadi dan menjadi bertanya-tanya. Kenapa anak seburuk itu mendapatkan perlakuan yang jauh lebih baik? Jika ayahnya tahu mengenai hal ini apa Agnes akan tetap diperlakukan sebaik itu? Bahkan ayahnya yang sakit saja Agnes tidak memberikan pengertian sedikitpun.

"Andai aja Papa lihat kelakuan Age tadi... Papa pasti bakal marahin Age kan?" Allen menunduk ke bawah,  menyentuh lengan kekar ayahnya. "Tapi tenang saja... Ale udah marahin Age kok. Buat Papa, Ale bakal ngelakuin apa aja."

Namun siapa sangka jika gumaman itu  berhasil membangunkan Anton dari tidurnya. "Ale," panggilnya dengan suara serak lemah, faktor utama yang membuatnya bangun adalah sentuhan tangan dingin yang rupanya berasal dari tangan kecil anaknya, Allen Balorima.

"Papa!" Girang Allen segera mengambil kain dari kening ayahnya dengan gembira. "Papa beneran udah bangun?"

"Iya."

"Papa tahu enggak?! Tadi Papa sempet panas tinggi kayak susu!" Susu panas yang beberapa kali Anton siapkan jika memiliki banyak waktu luang sebelum berangkat sekolah. "Tapi udah Ale kompres pake baju Ale jadi udah agak turun panasnya."

Mengumpulkan kesadaran, Donzello Anton menatap Allen yang terlihat sangat segar bugar namun begitu melihat rona merah membuatnya tersenyum kecil. Ia yakin tangisan anak kecil itu ditunjukkan untuk dirinya yang sempat sekarat. "Jam berapa?"

HARAPAN (ANTON RIIZE #01) Where stories live. Discover now