BM - 38

4.5K 362 30
                                    

Happy Reading !!!

***

Ternyata Nathael benar, ini adalah kesempatan terakhirnya. Namun Mario tidak tahu harus senang atau justru sedih atas kematian ibunya. Kemarin, ketika dokter mengatakan bahwa wanita iblis itu telah sadar, batinnya berperang hebat. Satu sisi mendorongnya untuk menemui wanita itu, tapi sisi yang lain kukuh bertahan dalam kebencian yang dirinya miliki. Sampai akhirnya menemui ibunya adalah keputusan yang Mario ambil. Aruna lah yang meyakinkannya. Kemudian pemandangan haru antara ibu dan ayahnya menjadi dorongan besar untuk ia berdiri di tengah-tengah mereka.

Rasanya Mario seakan kembali ke masa dua puluh tahun lalu, masa di mana ia sangat berharap berada di posisi ini, berdiri bersama kedua orang tuanya yang memberinya tatapan penuh kasih sayang. Yang merangkul dan menyambutnya dengan senyuman. Yang memberi elusan sayang di kepalanya. Yang bahagia mendapati kedatangannya. Yang bersyukur memilikinya. Yang bangga akan dirinya.

Sial, yang dirinya dapatkan justru kebalikannya. Dibandingkan pelukan, ia malah justru mendapat pukulan. Di bandingkan senyum lembut penuh kasih sayang ia justru mendapatkan tatapan sinis sarat akan kebencian.

Hal itu bikin Mario bingung, ekspresi apa yang harus dirinya berikan setelah dua puluh tahun berlalu dan akhirnya ia bisa berdiri diantara kedua orang tuanya. Bisa melihat tatapan rindu sekaligus penyesalan ibunya. Bisa melihat bangga dan haru terpancar di netra ayahnya.

Namun anehnya ia tidak merasa senang. Benci mungkin iya, tapi tidak ada keinginan untuk marah. Hanya bisa diam, menatap ibunya dengan perasaan tak nyaman. Sampai akhirnya sebuah kata maaf Mario dengar dari bibir ibunya yang bergetar.

Maafin Mama, ya, Nak? Mama udah jahat banget sama kamu. Mama nyakitin kamu, Mama melukai kamu. Mama …” terjeda akibat tangisnya, Nara memejamkan mata, tidak sanggup menatap sang putra.

Kesalahannya terlalu besar, dosanya tak termaafkan. Dan sebagai ibu, Nara merasa malu. Namun tidak dapat di bohongi bahwa rindu itu dirinya miliki. Begitu besar, hingga ia tidak bisa membendung air matanya lagi. “Mama gak bisa jagain kamu, Mama gak bisa melindungi kamu. Mama cuma bisa nyakitin kamu. Maafin Mama,” walaupun dengan susah payah, Nara tetap melanjutkannya. Semantara Mario masih setia dalam diamnya.

“Kamu pasti kesakitan, ya, Nak? Kamu pasti ketakutan. Maafin Mama, ya? Maaf sudah membuat dunia kamu mengerikan. Maaf sudah membuat bahagia jauh untuk kamu gapai. Tolong maafin Mama, Nak. Maafin Mama yang udah egois, maafin Mama yang udah jahat sama kamu. Mama menyesal, Mario. Mama menyesal.”

Dan Mario ingin sekali berteriak di depan ibunya, mengatakan bahwa penyesalahnya tidak berguna. Maafnya tidak bisa mengubah apa pun. Lukanya tetap ada, air matanya tetap membekas, dan mimpi buruk itu terlanjur melekat. Tapi tidak. Mario tidak melakukannya, Mario tetap diam, bahkan ketika Nara meminta sebuah pelukan.

“Sekali aja, Nak, boleh ‘kan? Mama pengen peluk kamu.”

Tatapannya begitu mengiba, namun yang datang ke dalam benak Mario adalah kejadian dua puluh tahun lalu. Saat itu ibunya juga bilang kalau dia ingin memeluknya, tapi malah berakhir dengan menusukkan sebuah pisau. Sungguh, itu membuatnya trauma.

“Untuk yang terakhir kalinya, Nak. Sebelum Mama benar-benar pergi, Mama pengen peluk kamu untuk yang terakhir kalinya, boleh ‘kan?” tatapannya begitu tulus dan memohon, tapi tetap tidak mampu membuat Mario luluh. Mario tetap diam dan bertahan dalam kebisuan, menyaksikan tangis ibunya yang penuh penyesalan. Kata maaf terus bibirnya lantunkan. Sampai akhirnya satu kalimat yang keluar dari bibir itu bikin Mario luruh dan terduduk di lantai dengan perasaan yang campur aduk.

“Mama tahu kamu sudah sangat membenci Mama. Maafin Mama. Maaf karena Mama tidak memperlakukan kamu dengan baik. Maaf karena Mama tidak bisa berperan seperti orang tua teman-teman kamu. Tapi Nak, satu yang harus kamu tahu, jauh sebelum kamu lahir ke dunia, Mama menyayangi kamu, Mario. Sangat menyayangi kamu. Maaf, Mama terlalu menjunjung tinggi ego. Maaf karena Mama kurang bersyukur memiliki Papa kamu. Mama minta maaf.”

Bed MateWhere stories live. Discover now