BM - 19

6.1K 280 24
                                    

Happy Reading!!!

***

Mario mendengus kecil ketika akhirnya menemukan Nathael. Sahabatnya itu berada di atap bangunan apartemen-nya. Padahal beberapa jam ini Mario sudah berkeliling ke beberapa tempat yang biasa pria itu datangi. Namun ternyata Nathael tidak pergi jauh.

Itu mengesalkan, sungguh! Sebab tak hanya lelah dan ngantuk yang dirinya rasa, bensin mobilnya pun habis sia-sia. Kalau saja ia tahu sejak awal bahwa sahabatnya itu berada di sini, mungkin Mario sudah dalam perjalanan pulang lagi ke apartemennya saat ini. Menemani Aruna tidur, atau melakukan hal-hal menyenangkan di tempat tidur.

Sial saja Nathael baru menanggapi panggilannya nyaris tengah malam, mengatakan keberadaannya dan memintanya membawakan minuman. Katanya bir yang di beli sebelumnya sudah habis sementara dia masih belum ingin berhenti. Pikirannya terlalu kacau, dan minuman beralkohol Nathael butuhkan untuk menemaninya menggalau. Sudah tak waras memang sahabatnya satu itu.

“Bir murahan!” cibir Mario kala mendapati kaleng bir yang berserakan di dekat sahabatnya itu duduk. Namun Nathael tidak sama sekali menghiraukan. Tetap diam menatap ke depan. Itu membuat Mario menghela napasnya, lalu mengambil duduk di samping pria itu dan mengangsurkan kaleng minuman yang tadi ia sempatkan beli di minimarket terdekat.

“Soda?” sebelah alis Nathael terangkat, menatap Mario dengan tatapan yang seolah berkata, ‘lo serius?’

“Bir-nya kosong.” Itu adalah kebohongan. Faktanya Mario memang sengaja membeli soda sebagai pengganti bir yang Nathael inginkan. Belakangan ini sudah terlalu banyak alkohol yang masuk ke dalam tubuh sahabatnya itu dan Mario tidak ingin menjadi yang disalahkan jika sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Nathael memang bukan pemula, pria itu sudah cukup kebal terhadap alkohol. Tapi tetap saja tubuhnya memiliki batas toleransi, dan beberapa hari yang lalu Nathael sempat minum sampai tidak sadarkan diri. Sekarang Mario tidak ingin pria itu mengulanginya lagi. Lagi pula alkohol bukan solusi untuk meredakan kelumit di hati.

Mario akui dirinya lebih candu pada minuman haram tersebut. Dan tak jauh berbeda, kerap kali dirinya pun melakukan hal serupa. Lari pada minuman setiap kali merasa emosi atau memiliki permasalahan hati yang tidak bisa dirinya luapkan secara langsung. Namun sekarang ia telah sadar, mabuk tidak akan membuat semuanya baik-baik saja. Mungkin benar mabuk bisa sedikit membuat kita lupa pada permasalahan yang ada, tapi setelahnya tidak ada yang berubah. Tetap saja kita harus menghadapinya.

“Bar lo kehabisan bir juga?”

Mario menggeleng santai. “Males aja harus ke bar dulu.”

“Ck, punya anak buah gak guna, percuma!” ujarnya mencibir, namun tak urung soda yang Mario berikan di teguk juga. Dan tatapannya kembali lurus ke depan. Helaan napasnya terdengar berat sebelum kemudian tawa miris diloloskan. Mario lantas menoleh, menatap diam pria menyedihkan di sampingnya.

Tidak ada kata yang Mario keluarkan, ia tetap diam, menunggu Nathael menceritakan perasaan sakitnya. Cukup lama Mario menunggu, sampai akhirnya Nathael berbicara, “Awalnya gue kira melihat dia bahagia gue juga akan merasakan hal serupa. Kenyataannya gak semudah itu."

Mendesah, Nathael kembali meneguk sodanya dan meremas kaleng minuman yang telah kosong itu seakan tengah melampiaskan emosi. “Gak bohong sih, gue emang bahagia melihat kebahagiaannya, tapi gak jarang gue membayangkan diri gue yang ada di posisi Nathan. Gue yang berdiri di samping Mutiara, menemani dia, mendengar rengekannya, menuruti keingannya. Gue yang ada di sana, menggenggam tangannya, menjadi alasan kebahagiaannya. Gue yang ada di sana, memeluknya, memberinya kenyamanan, rasa aman, dan cinta yang besar. Gue yang ada di sana, menjadi alasan untuk senyum indahnya. Tapi kemudian gue sadar, posisi gue bukan di sana, melainkan di sini. Menjadi penikmat setiap tawa yang diloloskannya.”

Bed MateWhere stories live. Discover now