BM - 20

10.2K 367 16
                                    

Happy Reading!!!

****

“Sering-sering nginep di sini dong, Run,” ucap Mario di tengah menikmati sarapannya yang sedikit tertunda akibat olahraga paginya dengan Aruna di atas ranjang dan bathub kamar mandi.

“Kenapa memangnya?” sahut Aruna dengan sebelah alis terangkat menatap Mario yang lahap menikmati sarapannya.

Diam-diam Aruna tersenyum, senang melihat apa yang dimasaknya di makan, meskipun ia tak yakin alasan Mario makan selahap itu karena enak atau justru kelaparan. Masa bodo, yang penting masakannya tidak terbuang sia-sia.

“Biar ada yang masakin gue terus,”cengirnya.

“Berani bayar berapa lo, hah?”

“Gue bayar dengan kenikmatan,” canda Mario sembari menaik turunkan alisnya. Dan hal itu membuat Aruna tak segan-segan menggetok kepala Mario dengan sendok yang baru saja keluar dari mulutnya.

“Lo kira gue cewek murahan?!” deliknya sebal. “Sorry ya, meskipun gue udah nyerahin tubuh gue sama lo, gue masih punya harga diri untuk gak cuma di bayar sama kenikmatan.”

“Ya udah kalau gitu lo jadi istri gue aja,” celetuk Mario entah sadar atau tidak, yang jelas Aruna langsung merotasikan bola matanya.

“Hidih segala minta gue jadi istri, berkomitmen aja lo gak bisa, apalagi terikat dalam pernikahan. Gak usah sok-sokan lo, Yo!” sungguh Aruna tidak baper. Lebih tepatnya berusaha untuk tidak baper. Sejak awal ia langsung membentengi diri untuk tidak jatuh hati seperti yang Mario minta. Ditambah ia sudah mendengar sendiri bahwa Mario anti komitmen. Baper pada Mario sama saja dengan bunuh diri. Maka dari itu kalimat asal Mario barusan tidak sama sekali Aruna masukan ke hati.

“Hehe, becanda, Run,” ujarnya cengengesan. “Tapi gue serius soal minta di masakin. Gue jarang sarapan.”

“Ya gimana mau sarapan kalau jam sebelas aja lo baru bangun?”

Dua bulan kenal dan dekat dengan Mario, Aruna mulai tahu sedikit demi sedikit tentang pria itu. Dan mengenai bangun pukul sebelas itu bukan lah kebohongan. Selain pernah menyaksikan sendiri, Mario pun pernah mengakui itu. Tapi wajar sih, Mario selalu tidur ketika hari sudah menjelang pagi. Hanya ketika sedang bersamanya pria itu tetap bangun pagi sekalipun malamnya begadang hingga kelelahan.

Bagaimana tidak … soal seks Mario seakan tidak memiliki rasa lelah. Pria itu selalu terlihat bersemangat, senyumnya bahkan merekah sarat akan rasa puas. Hal itu tak jarang membuatnya tersenyum, entah karena senang dirinya bisa membuat pria itu puas, atau alasan lain yang belum dirinya ketahui. Aruna hanya merasa Mario begitu tampan saat tersenyum.

“Kalau lo ada di samping gue terus, gue pasti bangun pagi ngikutin lo.”

“Sayangnya gue gak bisa,” Aruna menggelengkan kepala. Ia masih memiliki keluarga yang pasti akan curiga mendapati putrinya jarang pulang ke rumah. Menginap kali ini saja ia bermodalkan kebohongan, mengatakan bahwa ia menginap di rumah salah satu teman kuliahnya.

Aruna anak tunggal, tapi kehidupannya tidak terlalu di kekang, ia bisa bebas pulang jam berapa saja, main bersama siapa saja, dengan catatan pulang dengan selamat dan tidak mengecewakan. Dan jujur Aruna kerap kali merasa bersalah setiap kali berbohong pada orang tuanya. Tapi mau bagaimana … ia butuh Mario. Ia butuh pria itu untuk membuatnya lupa pada luka hatinya akibat ditinggal Bian menikah dengan masa lalunya. Aruna butuh Mario untuk bersenang-senang di tengah ketidak warasannya akibat patah hati.

Aruna tahu caranya salah, tapi semuanya sudah terlanjur, dan Aruna belum ingin berhenti. Ia masih menikmatinya.

“Ya, gue tahu.” Mario juga tidak serius meminta Aruna memasakannya tiap hari. Ia hanya merasa bahwa sepertinya itu akan menyenangkan. Gara-gara Bian sialan yang sepertinya sedang gemar memamerkan kehidupan barunya setelah memiliki istri. Bian yang biasanya jarang memposting apa pun di story whatsApp-nya kini jadi sering mengunggah kegiatan sederhananya bersama istri dan anaknya. Dan itu membuat Mario kesal sekaligus iri.

Sialan memang.

“Jadi setelah ini lo mau pulang?” bukan tanpa alasan Mario bertanya demikian. Pasalnya setelah mandi bersama tadi Aruna langsung berdandan rapi, menggunakan pakaiannya yang telah Mario siapkan beberapa minggu lalu.

Seperti permintaan Aruna, Mario menyiapkan keperluan perempuan itu di apartemennya, mulai dari pakaian hingga make up yang biasa perempuan itu gunakan untuk merawat kulitnya. Semua itu agar Aruna tidak kesulitan ketika tiba-tiba harus menginap. Seperti semalam contohnya.

Dulu Mario tidak pernah mau repot-repot seperti ini, tapi entah kenapa Aruna berhasil membuatnya tak keberatan. Bahkan ia tidak sama sekali merasa risi barang-barangnya bercampur dengan milik Aruna. Baik di dalam lemari atau pun meja rias.

“Gue mau jalan sama teman-teman kampus,” jawabnya setelah menelan makanannya.

“Yang di bar waktu itu?”

Aruna mengangguk membenarkan. Lalu menggeleng ketika paham raut wajah Mario yang terlihat kesal. “Dia gak ikut. Setelah gue labrak dia mengenai minuman di bar waktu itu dia udah gak pernah muncul depan muka gue. Apalagi waktu itu teman-teman gue ikut kecewa. Dia jadi gak punya muka kayaknya nemuin kami,” terang Aruna lalu mengedikkan bahu singkat.

“Bagus deh kalau gitu,” setidaknya itu membuat Mario lega. “Tapi lo tetap harus hati-hati, jangan lengah. Jangan pernah terima minuman atau makanan dari orang asing. Ya meskipun faktanya orang terdekat pun tidak menjamin keamanan. Yang jelas lo harus tetap hati-hati dan teliti. Jangan sampai lengah dan bikin diri lo sendiri rugi,” nasihat Mario yang di dengarkan Aruna sungguh-sungguh, walau senyum geli tetap mengukir di bibirnya. Aruna merasa seperti anak kecil yang di ingatkan mengenai bahaya di luar rumah oleh orang tuanya ketika ia akan pergi main dengan teman-temannya untuk pertama kali.

Namun meski begitu, Aruna tetap berterima kasih. Ia hargai perhatian serta kepedulian Mario padanya. “Lo sendiri mau ke mana setelah gue gak ada? Lanjut tidur?”

Cepat-cepat Mario menggelengkan kepalanya. “Gue mau ke rumah sakit.”

“Ngapain?” sebelah alis Aruna terangkat, raut wajahnya menunjukan sedikit kekhawatiran. Dan itu membuat Mario segera menggelengkan kepala, memberi isyarat agar Aruna tidak usah cemas.

“Gue gak kenapa-kenapa, Run,” katanya seraya terkekeh pelan. “Gue cuma mau jenguk ponakan baru gue. Semalam istrinya Nathan lahiran.”

“Teman lo yang kembar itu bukan sih?”

“Iya. Yang raut mukanya dingin dan datar itu. Lo ingat?”

Aruna mengangguk. “Tapi waktu itu wajah lo juga gak jauh berbeda sih. Dingin, sinis,” dengusnya menyebutkan. Dan itu sempat membuat Aruna berpikir bahwa Mario tidak menyukainya. Maksudnya hubungannya dengan Bian. Meskipun kenyataannya itu tidak sepenuhnya salah. Mario memang tidak menyukai hubungannya dengan teman pria itu.

“Tanggapan dia ketika Mas Bian ngenalin gue ke kalian pun bisa gue pahami. Dia sosok cowok cool yang irit bicara. Beda sama lo. Raut wajah lo keliatan benget gak suka sama gue,” Aruna mengedikan bahunya singkat lalu meneguk jus apelnya dan bangkit dari kursi untuk mencuci peralatan makan yang telah digunakannya. Tak lupa bekas Mario juga ia cuci sekalian.

“Sekarang gak kaya gitu lagi,”

“Ya, sekarang muka lo kayak om-om mesum setiap kali liat gue.”

Dan Mario tertawa mendengar jawaban Aruna. Bahkan seakan membenarkan Mario lantas menarik Aruna untuk menghadapnya dan langsung mencium bibir perempuan itu dengan rakus.

Aruna yang semula terkejut berakhir meningkahi ciuman Mario, mengabaikan sejenak cucian di wastafel. Tapi sayangnya apa yang Mario mulai tidak berakhir begitu saja. Ciuman mereka berlanjut pada aktivitas ranjang yang membuat Aruna kesiangan menemui teman-temannya, juga tidak menyelesaikan cuciannya. Namun tidak ada rasa bersalah yang Mario tunjukkan, pria itu justru bersiul dengan bibir terukir lebar. Memperlihatkan jelas kebahagiaannya.

Benar-benar menyebalkan!

***

Komen banyak-banyak kalau mau cepat baca lanjutannya.
Jangan lupa votenya juga ya,

See you next part!!!

Bed MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang