BM - 36

5.3K 373 42
                                    

Happy Reading!!!

***

Mario menatap bangunan di depannya dengan perasaan yang berkecamuk. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras, sementara tubuhnya gemetar, antara takut dan marah.

Aruna yang menyadari itu langsung meraih satu tangan Mario dan mengusapnya lembut, senyumnya terukir, menyalurkan sebuah ketenangan.

“Tetap di samping gue, ya, Run?” pinta Mario dengan sorotnya yang memohon.

Menganggukan kepala, Aruna kemudian berkata, “Gue gak akan ke mana-mana.”

Dan ketika sebuah keyakinan itu didapatkan, Mario lantas menarik dan membuang nafasnya perlahan, kemudian menarik sabuk pengan yang membebat tubuhnya dan keluar dari mobil, diikuti Aruna.

Tatapan Mario nanar, tertuju ke depan, pada bangunan yang dua puluh tahun lalu menjadi saksi akan kehancurannya. Mario bahkan sempat mengutuk hunian di depannya ini dan berjanji untuk tidak menginjakkan kaki di rumah itu lagi. Tapi … sekarang ia berdiri di tempat yang pernah menjadi nerakanya, walaupun sebenarnya ada pertentangan di hati dan kepalanya.

Ingin mundur saja sebenarnya, tapi kalimat yang Nathael dan Aruna ucapkan berhasil mengusiknya, hingga kepalanya di penuhi dengan kemungkinan-kemungkinan yang berakhir membuat tubuhnya gemetar dan sesak.

Mario ingat apa yang Aruna katakan tadi pagi, ketika ia berniat batal mengunjungi orang tuanya.

Lo gak akan pernah tahu seberapa menderitanya orang tua lo kalau lo gak lihat sendiri keadaannya. Lo gak akan pernah tahu seberapa besar rasa bersalah nyokap lo kalau lo-nya aja gak mau nemuin beliau. Lo gak akan pernah tahu semenyesal apa orang tua lo kalau lo-nya aja terus menghindar. Hadapi, Yo. Gue tahu kekecewaan lo gak main-main, gue tahu trauma lo gak bisa dianggap sepele. Tapi mau sampai kapan?”

Aruna bukannya bermaksud memaksa, ia hanya tidak ingin Mario menderita pada akhirnya. “Penyesalan itu selalu datang belakangan, Yo. Dan ketika hal itu terjadi, semuanya tidak berguna lagi.”

Jujur saja itu membuat Mario takut. Maka dengan tekad yang kembali dibulatkan, Mario akhirnya berada di sini. Tinggal selangkah lagi untuk bertemu dengan orang tuanya. Tapi sesak yang dirasa akibat kenangan buruk di masa kecilnya bikin Mario banyak mengulur waktu.

Dan sekarang, ketika pintu di depannya belum sempat dirinya ketuk, pintu itu sudah lebih dulu dibuka dari dalam, menampilkan sosok yang serupa dengannya dalam versi lebih tua.

Kepanikan dapat Mario saksikan, namun kemudian berganti dengan keterkejutan, dan langkah pria itu spontan berhenti. Tatapan keduanya beradu, saling mengunci. Namun tidak berlangsung lama karena Firman –yang tak lain ayah Mario— lebih dulu memutuskan pandangannya.

“Papa gak tahu kalau kamu mau datang,” Firma akhirnya membuka suara. “Tapi kayaknya sekarang bukan waktu yang tepat deh, Yo, Papa harus bawa Mama kamu ke rumah sakit,” ucapnya bertepatan dengan kedatangan ambulan yang sepertinya sudah  dihubungi sebelumnya.

Mario tidak sempat merespon apa-apa karena Firman lebih dulu sibuk bersama tim medis, membawa sosok tak berdaya dari dalam rumah dengan kekhawatiran yang tidak dapat di sembunyikan.

Selama tim medis bekerja, Mario hanya diam, terlalu syok juga tidak tahu harus melakukan apa. Sampai akhirnya sebuah tepukan pelan punggungnya rasakan.

“Rumah Sakit Harapan.” Itu saja, setelahnya Firman ikut naik ke dalam ambulan.

Namun sampai mobil kesehatan itu melaju, Mario masih belum bergerak dari tempatnya, tatapannya kosong tertuju ke depan. Baru ketika sirine ambulan itu tak lagi terdengar Mario menolehkan kepalanya.

Bed MateWhere stories live. Discover now