BM - 9

7.9K 334 20
                                    

Happy Reading!!!

****

“Jadi kelab ini punya lo?” tanya Aruna setelah puas menatap sekeliling ruangan Mario yang di dominasi dengan warna abu dan hitam. Terlihat mengerikan untuknya yang lebih menyukai warna-warna cerah. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ruangan ini cukup memberinya kenyamanan.

Seperti ruang kerja pada umumnya, di sini pun terdapat meja kerja serta sofa yang sepertinya diperuntukan untuk menerima tamu. Bedanya di ruangan ini terdapat lemari khusus minuman-minuman beralkohol. Aruna tidak tahu jenis apa saja, namun ia meyakini bahwa harganya tak murah.

“Hm,” hanya itu yang menjadi jawaban Mario tanpa sama sekali mengalihkan atensi dari laptop di depannya.

“Kenapa harus bar?” kembali Aruna bertanya dengan nada penasarannya.

“Maksud lo?” sebelah alis Mario terangkat, menatap Aruna yang baru saja mengambil duduk di sofa hitamnya.

“Iya kenapa lo lebih milih mendirikan bar? Kenapa gak restoran, café, atau mall mungkin,” ujarnya lebih rinci.

Simple aja sih, karena sejak SMA gue suka clubbing, gue suka minum.” Alasan lainnya karena bar seakan memberinya kebebasan.

“Gak heran malam itu lo tetap waras meskipun udah minum bergelas-gelas,” ucapnya sembari mengangguk-anggukan kepala tanda paham. Dan apa yang dikatakan Aruna berhasil mengalihkan seluruh atensi Mario.

“Lo kecewa?” tanya Mario menyorot jahil.

“Sialan!” umpat Aruna sebal, namun tak bohong bahwa wajahnya memanas saat ini. Kalimat yang Mario loloskan berhasil membuat Aruna kembali mengingat kejadian malam dua minggu lalu. Padahal ia sudah berusaha melupakannya.

Ah, tapi salahnya juga sih kenapa mengungkit malam itu. Sudah seperti ini ia juga yang akhirnya malu sendiri. Berbeda dengan Mario yang malah terlihat puas akan reaksinya barusan.

Benar-benar menyebalkan.

“Ngomong-ngomong mereka teman-teman kerja lo?” sebenarnya Mario tidak tertarik mengetahui itu, tapi karena tidak ingin kejadian beberapa waktu lalu dijadikan sebagai bahasan, akhirnya ia memilih menanyakan, demi mengalihkan. Beruntung saja Aruna pun sepertinya sepakat, membuat mereka akhirnya membahas hal lain yang tidak ada kaitannya dengan malam itu. Dan dari jawaban Aruna, Mario akhirnya tahu bahwa orang-orang yang datang dengan perempuan itu bukanlah teman kerjanya, melainkan teman kuliahnya. Pantas saja pria itu berani mencekoki Aruna dengan entah obat jenis apa, namun yang jelas itu pasti dapat melumpuhkan Aruna.

Untuk kali ini Mario merasa lega karena Aruna datang ke bar miliknya. Andai bukan, Mario tidak tahu apa yang sedang terjadi pada Aruna saat ini.

“Setelah ini gue saranin untuk lebih hati-hati,”

“Lo khawatir?” bangkit dari duduknya, Aruna lalu membawa langkahnya menghampiri Mario, berdiri menyandarkan pinggulnya di meja kerja pria itu. Senyumnya terukir manis, namun di hiasi raut jahil yang lantas membuat Mario meloloskan dengusan kecil.

“Lo boleh berpikir begitu,” Mario mengedikkan bahu singkat, setelahnya memilih untuk mematikan laptop dan berdiri dari duduknya. “Gue antar pulang,” ucapnya sembari melangkah begitu saja, melewati Aruna yang cemberut. Tak senang dengan tanggapan datar Mario.

“Lo seneng banget deh perasaan ngajak gue pulang. Kenapa? Gak suka dekat-dekat gue?” sewot Aruna seraya menatap punggung Mario dengan sengit.

Aruna benar-benar tidak mengerti dengan pria di depannya itu. Satu waktu Mario terlihat begitu baik dan peduli, tapi di detik selanjutnya keberadaannya seakan membuat pria itu risi. Seperti sekarang contohnya.

Bed MateWhere stories live. Discover now