44. Duka dan Luka [FINAL]

1.8K 216 40
                                    

Kepergiannya membawa duka yang berubah menjadi luka. Namun, dia tidak pernah hilang dengan perasaan dia masih disini namun bersembunyi untuk beberapa waktu.

Ice ingat jika kemarin sore adiknya masih bercanda bersamanya di temani cahaya jingga dari ufuk barat.

Wajahnya yang tersenyum saat itu apakah sebuah salam perpisahan yang tidak Ice sadari?

Tuhan, tolong katakan bahwa ini hanya candaan.

"Gentar gak segila itu sampai dia milih buat akhiri hidupnya sendiri,".

Ice menekuk lututnya menyembunyikan dirinya dari tatapan–tatapan manusia diluar sana.

Air matanya yang sudah kering tiba–tiba kembali turun saat ingatan tentang Gentar berputar di kepalanya bagai kaset rusak.

"Gentar cuma sembunyi buat ngejutin kita pas hari ulang tahun kita nanti kan?" Ice menatap Gempa yang merebahkan dirinya di atas kasur seraya menatap langit–langit kamar.

"Aku nyesel Ice, ternyata sakitnya baru kerasa sekarang. Padahal cuma anak kucing doang tapi aku sampai benci dia selama dua tahun lamanya," ucap Gempa dengan nada pelan.

Gempa sadar jika anak kucing bisa dicari kembali namun tidak ada yang bisa menggantikan Gentar. Meskipun anak itu bebal dan tidak bisa di atur, Gentar masihlah adiknya.

"ARGH! KENAPA? KENAPA HARUS GENTAR?! KENAPA!!" jerit Ice meluapkan rasa sesak di dadanya, bukan karena penyakitnya tetapi karena sakitnya ditinggalkan sang senja.

Mungkin Ice belum tahu apa penyebab Gentar melakukan hal senekat ini, tetapi Ice tahu adiknya sudah benar–benar lelah. Saking lelahnya dia sampai tidak mau lagi untuk bertahan.

"Kenapa gak Ice aja yang ikut Mama, kenapa harus Gentar yang Mama ajak?" suaranya lirih yang akhirnya teredam oleh suara tangisan pilu.

Taufan menatap keduanya dari meja belajar, dia tahu yang tersisa dari semuanya hanya penyesalan, tetapi menyesal saja tidak akan mengembalikan waktu.

Gentar tidak akan kembali, dia tidak akan pernah kembali meskipun Taufan terus memintanya sampai jutaan kali.

Taufan mengangkat layar ponselnya saat notifikasi pesan muncul.

@Lele

|Jangan cari gue lagi Fan, gue
|ikut minggat.

|Gak ada manusia yang gue percaya,
|gak ada rumah yang akan gue
|singgahi, mau itu Papa atau Ayah.

Taufan mematikan layar ponselnya. Dia menidurkan kepalanya di atas meja belajar dengan tangan yang digunakan sebagai bantalan.

"Kamu mau pergi kemana, Li?" ujarnya dalam hati.

.
.
.

Halilintar menatap adanya cahaya jingga di langit barat, bersama bayangannya yang tidak bisa di ajak bicara.

Suara deburan ombak menjadi salah satu suara yang mengisi telinganya selain suara dari langkah pelan kelomang yang diam–diam terdengar.

Dia tertawa pelan ketika mengingat betapa lemahnya dia yang tidak bisa menjaga adiknya sendiri.

"Bodoh banget sih gue, bodoh!".

Kesedihannya kian bertambah saat setelah hampir dua puluh empat jam tidak menyalakan ponsel dan baru menghidupkan kembali ponsel tiga puluh menit lalu. Antaian notifikasi pesan yang dikirimkan Gentar tadi malam menjadi suara yang mengisi ponsel Halilintar selama beberapa menit.

Two Sided Life Where stories live. Discover now