05. Permission

5.3K 422 13
                                    

Tamparan keras Halilintar dapatkan karena sebuah kesalahan yang bahkan tak dia lakukan. Matanya memanas dan berembun sehingga membuat pandangannya buram, giginya bergemeletuk, ia menahan rasa kesal pada pria yang lebih tua darinya ini.

Selama 14 tahun hidupnya, ini adalah pertama kali dia mendapat perlakuan kasar seperti ini, seumur hidupnya dia tak pernah mendapat serangan fisik seperti ini.

"Papa," Halilintar menatap Boboiboy.

"Papa kenapa sih? Aku bahkan nggak apa-apain Ice, dia nangis atas kemauannya sendiri-" ucapan Halilintar terhenti saat gesper sabuk mendarat di tubuh bagian depannya.

"Kamu sudah berani melawan?" Boboiboy menjambak rambut Halilintar, ia memaksa remaja laki-laki itu untuk mendongak menatapnya.

Tamparan keras dipipi kanannya kembali Halilintar terima sehingga membuatnya menoleh secara paksa.

"Jangan pernah mengganggu Ice lagi. Sekarang pergi dari sini," nada suara dingin nan dalam itu masuk kedalam rungu Halilintar.

Halilintar memutar bola matanya malas, ia membalikan tubuhnya dan pergi dari tempat itu tanpa sepatah katapun.

Keluarnya Halilintar dari ruang kerja Boboiboy, ia langsung di suguhkan oleh pemandangan yang membuat matanya sakit di ruang keluarga.

Tawa bahagia dengan berbagai candaan yang terucap, Halilintar membenci dua hal itu setelah dirinya ber transmigrasi ke tubuh ini.

Padahal belum genap satu hari setelah Halilintar terbangun dengan dunia yang berbeda tetapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun.

"Kalian ngerasa aneh gak?" Blaze yang baru saja kembali setelah mengantarkan camilan ke kamar Ice.

"Aneh apa?" Taufan yang pertama menyahut.

"Si dia itu, tumben pulang jam segini," kata Blaze sambil menatap sekilas Halilintar yang akan pergi ke kamarnya.

"Eh iya baru ngeh," Taufan memukul paha Gempa saat dia berucap, salah satu kebiasaan Taufan yang paling Gempa benci.

Bunyi pecahan gelas terdengar disela pembicaraan mereka sehingga membuat semua atensi di sana menatap bersamaan kearah Thorn yang baru saja tak sengaja menjatuhkan gelas dari tangannya.

"Thorn!" suara Gempa yang marah menggema diruangan itu.

"Omaga.".

.
.
.

Saat ini sudah seminggu sejak dimana Halilintar dipaksa beradaptasi dengan kehidupan barunya. Hari-harinya tak pernah berubah sejak hari itu, tatapan kebencian dan ucapan kelewat pedas yang selalu dia terima seolah sudah menjadi makanan se hari-harinya, bahkan luka-luka baru juga turut dia dapatkan.

Halilintar juga sadar jika tempat dirinya saat ini juga tak jauh dengan tempat dimana dulu dia dibesarkan. Rasanya secercah cahaya mulai terlihat dimata Halilintar.

Dengan postur tubuhnya saat ini betul-betul mirip dengan tubuh aslinya, ia yakin dia akan pulang dengan selamat dan akan bertanya-tanya apa yang terjadi dengan tubuh aslinya.

Pagi ini Halilintar menjadi orang ketiga yang sampai dimeja makan terlebih dulu, berbeda dengan biasanya jika dia selalu terlambat dan dimarahi.

Taufan dan Gempa disana, keduanya sedang membicarakan bagaimana sekolah mereka kemarin. Terlihat seperti anak kembar pada umumnya.

Halilintar iri dibuatnya, dia juga ingin merasakan hal seperti itu bersama dengan saudaranya. Namun, di kehidupannya yang sebelumnya dia bahkan tak pernah tahu wajah asli orang tuanya.

"Lo bisu?" suara Taufan membuat Halilintar tersentak dari lamunannya. Taufan lihat-lihat dari tadi Halilintar terus diam tak mengucapkan apapun dan bahkan lebih terlihat diam dari biasanya.

"Gue bisa izin gak masuk sekolah sehari gak? Besok gue sekolah," ujar Halilintar, dia menatap Taufan dan Gempa secara bergantian. Hubungan Halilintar dengan kedua cowok itu memang tak baik, tapi bukannya lebih baik seperti itu daripada tak berbicara sama sekali.

"Siapa yang mengizinkan kamu untuk tetap tinggal di rumah?" entah datang darimana, tiba-tiba saja Boboiboy sudah duduk dikursi miliknya.

"Papa, aku gak-".

"Pergi sekolah, tidak ada kata tapi." ucapan memotong yang disengaja itu benar-benar membuat Halilintar kesal.

"Kayaknya aku mau sakit. Pas bangun tadi tenggorokan aku sakit, terus tiba-tiba mimisan, kepala aku pusing, badan aku panas dan perut aku mual. Jadi, aku mau izin buat gak sekolah sehari ini aja," jelas Halilintar walau tahu tak akan ada yang peduli dengannya.

"Citra kamu disekolah sudah buruk, jangan memperkeruh keadaan dengan memperbanyak coret merah di buku absen dengan tidak sekolah." Boboiboy menimpali walau ucapannya terdengar dingin seperti biasanya.

"Papa, tapi-".

"Sekolah kalau tidak mau dikurung digudang seperti waktu itu.".

Halilintar mendengus, padahal Boboiboy juga pasti mengalami perasaan yang sedang Halilintar alami tapi kenapa pria itu begitu egois dan hanya memikirkan apa yang dia inginkan. Lagipula yang saat itu dikurung digudang bukanlah Halilintar tetapi si pemilik tubuh asli.

"Selamat pagi Papa!" Thorn datang dan memberikan sebuah pelukan pada Boboiboy, Boboiboy sendiri tak keberatan dan membalas pelukan Thorn.

Halilintar memicingkan matanya, matanya sakit ketika melihat pemandangan itu. Halilintar berdiri dan setelahnya berjalan dari sana tak lupa menyampirkan tas miliknya dibahu sebelah kanan.

Boboiboy menatap kepergian Halilintar untuk sekilas lalu tak lama setelahnya kembali fokus pada Thorn yang asik bergelantungan ditangannya.

"Ice sama Blaze mana? Solar juga nggak ada," tanya Gempa yang baru saja memasukkan roti berselai kacang kedalam mulutnya, katanya dia sedang malas makan nasi.

Raut terkejut terlihat jelas diwajah Thorn, dia cepat-cepat menarik tangan Boboiboy tanpa berkata apapun sehingga membuat orang-orang disana keheranan.

"Papa ayo cepat, nanti Kak Blaze marah lagi, orang itu nyeremin kalau udah marah!" titah Thorn memaksa, dia bahkan sampai lupa caranya bernapas saking terkejutnya.

Dengan paksaan Thorn akhirnya Boboiboy mau ikut, dan sekarang keduanya berjalan cepat menuju kamar Ice. Saat sampai ditempat tujuan dimana disana pintu sama sekali tak tertutup.

"Papa kenapa baru datang? Aku panggilin dari tadi gak nyahut-nyahut, kenapa?!" sembur Blaze begitu Boboiboy datang memasuki tempat yang disebut kamar itu.

"Ice," atensi Boboiboy teralih pada yang yang terbaring dengan masker oksigen yang menutupi seperempat wajahnya. Boboiboy menghampiri, wajahnya terlihat ketakutan dan khawatir, "kenapa gak bilang kalau sakit?".

Ice melirik Boboiboy sekilas lalu kembali memejamkan matanya saat rasa sakit didada kirinya masih terasa.

"Papa jangan nawarin buat pergi kerumah sakit, aku nggak apa-apa cuma sedikit sakit doang," kata Ice pelan namun masih dapat terdengar dengan jelas.

"Sakitnya cuma sebentar kok," Ice meremas dada kirinya yang sakitnya seperti ditusuk ribuan jarum. Tanpa sadar dia menangis sehingga membuat dadanya semakin sesak.

"Papa, sakit...".

"Jangan nangis ya, nanti tambah sesak," Boboiboy memang sudah terbiasa dengan situasi ini tetapi bukan berarti dia benar-benar terbiasa.

"Kalian bertiga sarapan dan pergi kesekolah, Papa mau bawa Ice kerumah sakit," Boboiboy memangku Ice yang terlihat kepayahan untuk bernapas. Langkah lebar pria itu membawa menuju lantai dasar yang dimana menjadi semua penghubung keseluruh ruangan dirumah.

"Papa, aku juga mau ikut!" seru Blaze, dia menyusul Boboiboy yang sepertinya lumayan jauh dan meninggalkan Thorn dan Solar.

"Kak Blaze emang sesayang itu sama Kak Ice," gumam Solar yang akhirnya diangguki Thorn, "kamu nangis Thorn?".

Thorn menggeleng dan tersenyum, "nggak kok ini cuma kelilipan,".

Solar berdecak, kelilipan apanya tadi kan sudah kelihatan jika Thorn menangis karena Ice, "pembohong.".

Two Sided Life Where stories live. Discover now