03. Water

6.5K 507 15
                                    

Halilintar mengerti sekarang, dia memang tidak sedang bermimpi tetapi benar-benar berada di kenyataan yang sesungguhnya.

Sempat dia berpikir untuk pergi dari panti asuhan dan mencari keluarga kaya raya yang menyayanginya meski pada akhirnya itu hanya pemikiran saja lantaran dia tak mungkin meninggalkan anak-anak lain begitu saja.

Tapi itu dulu, sebelum Halilintar berada di tubuh orang yang memiliki masalah dengan keluarganya sendiri.

"Lho ngelamun lagi?" suara seseorang dengan cepat mampu membuat Halilintar tersadar dari lamunan yang membuatnya berfantasi dengan liar.

"Bukannya kamu dihukum karena gak ngerjain tugas fisika ya, kok malah asik nongkrong disini?" cowok dengan nametag Fang Sebastian Xavier itu duduk di samping Halilintar.

"Lapar, mau ngantin bareng?" ajak Halilintar tanpa ragu, padahal aslinya dia tak kenal dengan orang ini.

"Kalau itu maunya sih, asalkan teraktir ya," Fang berdiri dan menarik tangan Halilintar untuk segera pergi ke tujuan utamanya.

Fang itu satu-satunya teman Halilintar disekolah karena selain di klaim sebagai berandalan, Halilintar juga banyak ditakuti orang karena kesabarannya yang setipis tisu dibelah tujuh.

Tapi itu dulu sebelum jiwa seseorang ber transmigrasi kedalam tubuhnya.

"BTW, kenapa selama tiga hari kebelakang gak sekolah? Aku tanyain sama Blaze katanya kamu lagi malas sekolah. Tapi aku tau betul kalau kamu lebih suka disekolah daripada dirumah-".

"Kenapa cerewet banget? Kita bukan cewek, kan?" Halilintar pada dasarnya lebih suka tempat sepi dibanding dengan tempat penuh bising.

"Aku gak mau kita berantem karena gara-gara hal sepele jadi mendingan cepetan ke kantin. Kamu lapar kan?" selama kenal Halilintar hampir sepuluh tahun, Fang sangat mengenal sifat Halilintar yang mudah marah karena hal sepele dan berujung mereka berdua yang marahan sampai beberapa hari.

Tak terdengar lagi suara diantara keduanya dan yang ada hanyalah suara sepatu yang ditimbulkan karena berbenturan dengan keramik. Antara Halilintar yang lebih suka diam dan Fang yang tak ingin mereka berdebat karena hal kecil.

FYI, antara kantin dan lapang serbaguna tak terlalu jauh jaraknya mengingat langkah mereka yang terlampau lebar.

Sekitar dua puluh tiga detik mereka berjalan dan kini keduanya sampai ditempat yang begitu ramai karena sudah waktunya jam istirahat.

"Kamu cari tempat duduk dan aku yang mesen, ya?" Fang menatap Halilintar yang sejak tadi diamnya mirip seperti dinginnya dunia tanpa matahari.

Tanpa menjawab Halilintar segera mencari tempat kosong yang belum ditempati oleh siapapun.

Netranya menyisir seluruh tempat dan tak sekali dua kali dia kesal karena tempat kebanyakan sudah penuh, hingga akhirnya dia menemukan tempat yang pas untuk ditempatinya.

Tungkai jenjangnya merangkit langkah, seolah tanpa beban dia melangkah dengan santai hingga akhirnya sampai ditempat yang dituju, mungkin.

Tepat tiga langkah menuju tempatnya, sebuah cairan panas sukses besar mengguyur tubuh tegap tersebut.

Panas, satu kata untuk Halilintar saat ini.

Suara bisikan siswa maupun siswi terdengar mengisi ruangan yang lumayan luas.

"Ma-maaf, aku gak sengaja tadi... tadi lantainya licin jadi-" Ice sebagai pelaku merasa nyalinya ciut ketika melihat tatapan Halilintar.

"Lo sengaja ya?" bisik Halilintar, dia tak mungkin mengeluarkan banyak suara karena itu bukan tipenya.

"Bukan kok, aku beneran gak sengaja!" Ice menatap Halilintar serius dan yang di tatapan malah membuang mukanya.

"Shh panas tau." kalimat terakhir yang Ice dengar dari Halilintar sebelum akhirnya Halilintar menghilang dari pandangannya.

"Kenapa?" entah sejak kapan ada disana tapi tiba-tiba saja suara Gempa terdengar yang secara tak sengaja mengejutkan Ice.

"Itu, Halilintar tadi-".

"Dia apain kamu lagi? Kamu nggak apa kan? Terluka gak? Sakit gak?" pertanyaan beruntun Gempa lontarkan tanpa memberikan kesempatan untuk Ice menjawab.

"Aku gak apa-apa, sehat walafiat malahan." salah satu sifat yang Ice benci dari saudaranya yaitu, terlalu protective padanya. Padahal dia bukan lagi bayi.

.
.
.

Halilintar melepas satu ersatu kancing seragamnya yang saling berkaitan membiarkan tubuh bagian depannya terekspos begitu saja tanpa halangan.

Dia meringis saat rasa panas, perih, dan nyeri berampur menjadi satu. Ini bukan pengalaman pertamanya disiram air panas begitu tapi pengalaman kedua.

Dulu saat dia masih hidup di raganya pun pernah merasakannya sewaktu akan mengangkat air panas yang dididihkan dengan kompor gas.

"Lagian ngapain sih dia bawa panci kesekolah, mana airnya kayak baru diangkat lagi." dumelnya.

Dari pantulan cermin di toilet dia dapat melihat jika dada sampai perutnya memerah seperti kepiting.

Begitupun dengan setetes cairan bening yang keluar melalui sudut matanya tanpa permisi.

"Ibu, Lintar mau Ibu!" hanya permohonan yang bisa dia lakukan, untuk kali ini hanya harapan fana yang bisa dia lakukan, "sakit, sakit banget...".

Tanpa diduga pintu terbuka, menampilkan Fang dengan wajah lelahnya setelah berlari maraton dari kantin.

"Ada yang sakit?" tanyanya begitu sampai.

─────TBC─────

Maaf ya kalo gak seru karena... aku masih pemula jadi maaf lagi yaa!

Two Sided Life Where stories live. Discover now