21. Bad luck?

2.2K 277 13
                                    

Setelah kedatangan Amato dan Mara kemarin, Halilintar jadi lebih sering memerhoki Boboiboy yang melamun. Entah kenapa pria itu, Halilintar pun malas mengetahuinya.

Tujuan utama Halilintar sekarang adalah mendekatkan diri dengan orang-orang disini, mungkin itu juga yang diinginkan oleh si pemilik tubuh asli.

Halilintar tak ingin melakukannya, namun Halilintar harus melakukannya karena mungkin saja inilah alasan kenapa dia bisa hidup kembali.

Dia yang sebelumnya memperhatikan Boboiboy yang tengah duduk di sofa di ruang keluarga dari tangga, kini dia pergi kedapur untuk mengambil air sebagai alasan kenapa dia keluar kamar.

Omong-omong dia juga lapar lantaran sedari pagi belum makan, walaupun tadi sempat makan di kantin saat istirahat namun sama saja masih lapar karena itu tadi dan sudah lumayan lama.

Halilintar mengambil gelas lalu beserta airnya, setelahnya ia minum hingga habis. Dilanjut dengan Halilintar yang segera mencuci gelasnya dan menyimpan kembali ke tempat semula gelas itu.

Halilintar menghela napas, tak tahu kenapa belakangan ini dia cepat lelah padahal tak melakukan apapun, palingan hanya belajar agar besoknya saat ujian tak seperti orang dungu.

Halilintar memutuskan untuk kembali ke kamarnya, Halilintar ingin segera pergi tidur lalu mengistirahatkan tubuhnya.

"Gara-gara kamu, aku jadi dapat masalah disekolah!".

"Emang aku ngapain?".

Mata Halilintar memicing, kenapa kedua orang itu bertengkar. Tidak seperti biasanya Blaze dan Ice bertengkar seperti itu. Setahu Halilintar, Blaze adalah orang yang paling enggan untuk melihat Ice terluka.

"Kenapa lagi kalau bukan karena kamu penyakitan.".

"Blaze," rasanya sakit mendengar perkataan itu dari mulut Blaze, orang yang paling Ice percaya dirumah ini.

Halilintar yang mendengarnya saja ingin menghajar Blaze. Ucapan Blaze terdengar tidak dewasa di rungu Halilintar, padahal Blaze sudah bukan anak-anak yang tak bisa menjaga ucapannya.

"Karena kamu-".

"Udah Blaze!" sela Halilintar. Tanpa sadar dia melayangkan pukulan ke pipi kiri Blaze lumayan kuat sampai-sampai sudut bibir Blaze sobek.

"Mau sampai kapan lo nyalahin orang lain atas dasar lo sendiri yang berbuat salah, orang-orang disekolah gak mungkin bikin lo kesulitan kalau bukan karena lo yang mulai duluan!".

Halilintar marah, hatinya mengatakan untuk melindungi Ice.

Blaze menatap Halilintar tak percaya. Dulu Halilintar bukanlah orang yang akan memukul orang terlebih dulu sebelum memulai, tapi sekarang malah Halilintar yang mulai duluan.

"Lo tau apa? Dibully nggak, terkenal iya. Lo yang jadi segalanya disekolah tau apa yang gue rasain? Lo gak tau rasanya dikucilkan disekolahkkan?!" Blaze mencengkram kerah seragam Halilintar.

Halilintar masih memakai seragam sekolahnya lantaran belum sempat mengganti pakaian, karena setelah pulang sekolah tadi Halilintar langsung pergi tidur seperti biasa.

Halilintar menatap Blaze, rasanya Blaze terlalu enteng mengucapkan hal itu. Padahal Halilintar bukanlah pemilik asli raga ini, Blaze mana tahu kehidupan sekolah Halilintar saat SD hingga SMP dulu.

"Tapi seenggaknya jangan melampiaskan kemarahan lo sama Ice, dia gak tau apa-apa. Kalau mau marah, marah ke gue bukan sama Ice. Gue anak pembawa sial kan?!" mata Halilintar memanas.

Halilintar menahan lengan Blaze yang hendak memukul.

Blaze yang juga sama kesalnya menepis tangan Halilintar lalu menyerang Halilintar dengan tangan kirinya.

"Lo gak ngaca? Siapa yang dulu sampai buat Ice sekarat berkali-kali, dan sekarang mau berlagak jadi pahlawan?" Blaze mengangkat alisnya sebelah, terlihat menantang.

"Udah, nanti Papa marah!" lerai Ice, dia tak mau menjadi awal perkelahian antara saudaranya.

Halilintar membuang wajah kesamping. Dia harus lebih bisa mengatur emosinya, karena terkadang perubahan emosi dapat membuat asmanya kambuh.

"Blaze, lo bukan anak kecil lagi. Harusnya berpikir pake perasaan dan bukan cuma mengandalkan logika, lo bukan Solar yang segalanya pake rumus matematika." ujar Halilintar, intonasi suaranya terdengar lebih ramah dari sebelumnya.

Blaze mengernyitkan dahinya, apa-apaan Halilintar itu, kenapa dia bersikap seolah sedang menceramahi adiknya yang membuat kesalahan.

"Gak usah ngatur, lo gak berhak atas gue. Gue abang lo, ingat itu." mungkin karena kesal, setelah mengucapkannya Blaze pergi dari sana meninggalkan Ice dan Halilintar.

Halilintar mengalihkan pandangannya pada Ice yang berdiri disampingnya. Telapak tangan kasarnya menyentuh tangan Ice.

"Lo gak pa'pa' kan? Kalau nanti ada yang jahatin lo lagi, bilang ke gue biar gue ratain semuanya." rasanya baru saja kemarin Halilintar mengatakan tak ingin berurusan dengan Ice lagi, sekarang tahu-tahunya malah jadi orang yang ingin melindungi Ice.

"Tapi-".

"Halilintar!" ucapan Ice terpotong saat mendengar suara Boboiboy. Pria yang sekarang berjalan mendekat itu tampak dibutakan oleh amarah.

Halilintar sudah bisa menebak, sepertinya Blaze mengadukan apa yang baru saja terjadi pada Boboiboy.

Braak!

Halilintar meringis, tubuhnya baru saja di angkat oleh Boboiboy lalu dihempaskan ke dinding.

"Perlu diperingatkan berapa kali? Jangan mengusik anak-anak saya lagi!".

Mendengar ucapan Boboiboy, Halilintar terkekeh. Mau berapa kalipun Halilintar mengatakan, keluarga ini memang tidak realistis.

"Terus aku apa? Kotoran?" Halilintar muak berada disini, ingin cepat-cepat pergi dari sana sekarang kemanapun itu.

"Anak sialan, udah berani ngelawan kamu sekarang?!".

"Lo tuh yang bapak sialan!" rasanya lega, akhirnya Halilintar berani mengatai pria ini.



Gempa dan Taufan berdiri, menatap orang yang sedang tertidur pulas di atas brankar rumah sakit.

"Ini Abang?" tanya Gempa, "aku takut, kalau seandainya Abang bangun nanti dia kenal kita, kata Om sama Tante pas itu, Abang cuma ingat namanya dan gak tau apa-pa.".

Taufan memegang tangan cowok yang masih terlelap dalam tidur panjangnya, "cepet bangun, kita kangen.".

"Disini Papa yang salah, kalau aja saat Papa SMA dia gak berurusan dengan geng motor. Semua ini gak akan terjadi," celetuk Taufan.

Gempa menoleh, Taufan yang berdiri disampingnya terlihat berbeda dari Taufan yang biasa dia lihat, saat ini Taufan terlihat lebih pendiam dari biasanya.

"Tapi saat insiden itu Papa udah kuliah, jadi harusnya geng motor itu udah lupa kejadiannya kan? Papa juga udah nikah sama Mama saat itu,"  timpal Gempa.

"Papa baru nikah satu tahun sama Mama saat itu, aura nakalnya Papa saat SMA mungkin masih menguar jadi orang-orang itu balas dendam karena udah ambil Mama dari ketua gengnya, bahkan Papa sampai bikin Mama buncit sembilan bulan," Taufan menjelaskan dari apa yang dia dengar dari Opa-nya.

Gempa menunduk, menahan rasa perih dihatinya, "aku lupa kalau kita anak haram. Mama hebat karena bisa lahirin kita di usia yang masih muda,".

"Gempa," perasaan Taufan mendadak tak tenang saat mendengar suara tak normal dari mesin EKG, "panggilin dokter!".

Tangannya dengan cepat menekan tombol emergency yang ada disana, Gempa begitu panik sampai rasanya ingin ngompol dicelana.

"Bang jangan bikin panik," ujar Gempa, matanya bisa saja menangis mengeluarkan air mata sekarang.

TO BE CONTINUE

Nanti update lagi kalau udah 100 vote lebih


Two Sided Life Where stories live. Discover now