11. Talks

3.8K 359 8
                                    

"Ice,".

Blaze berjalan disamping Ice, sejak tadi Blaze selalu mengikuti kemanapun Ice pergi, bahkan saat Ice akan pergi ke kamar mandi saja Blaze ingin ikut tapi tak jadi karena Ice menutup pintu dengan cepat.

"Ice,".

Blaze berdecak kesal, lagi-lagi Ice mengabaikan panggilannya.

"Aku harus minta Papa ganti nama kamu kayaknya," celetuk Blaze.

Ice menoleh sekilas lalu kembali fokus kedepan. Omong-omong mereka berdua saat ini sedang berjalan menuju lantai atas menuju kamar Halilintar, Blaze sih tidak tahu jika tempat yang akan Ice tuju adalah tempat itu.

"Harusnya gak dinamain Ice biar nggak kayak es balok," Blaze menghela napas lelah, lama-lama Blaze lelah juga berceloteh tak jelas sendirian.

Blaze mengangkat sebelah alisnya saat Ice berhenti didepan kamar Halilintar, yang secara tak sengaja membuat langkah Blaze terhenti juga.

Ice mengetuk pintu yang tak tertutup sempurna itu, "Lintar, kamu didalam?" Ice merasa heran saat tak ada jawaban dari Halilintar, walau biasanya juga Halilintar tak menjawab panggilannya.

"Kamu didalam kan? Aku masuk ya," Ice membuka pintu kamar itu dengan tangan kirinya lantaran ditangan kanannya terdapat nampan yang berisi makanan.

Ice memicingkan matanya begitu masuk dia sudah disuguhi dengan ruangan gelap gulita dan hanya satu cahaya yang bisa Ice lihat, yaitu cahaya dari layar ponsel Halilintar yang menyala.

"Mata kamu bisa rusak lho," Ice meraba dinding disampingnya untuk mencari saklar lampu dan setelah ketemu Ice menekannya untuk menghidupkan lampu.

"Ice, ngapain kesini?" tanya Blaze yang berdiri dibelakang Ice.

"Mending kamu diam," jawaban pertama Ice untuk Blaze.

Ice berjalan menghampiri Halilintar, tak lupa ia menyimpan nampan diatas nakas dulu sebelum semakin mendekatkan diri dengan Halilintar.

"Tadi Om itu nanyain, katanya kenapa kamu gak balik-balik kesana padahal katanya dia pengen lebih mendekatkan diri sama kamu," Ice duduk disamping Halilintar yang sedang menatap layar ponselnya dengan tatapan serius.

"Lintar, Papa nyuruh kamu kebawah tadi tapi sebelum itu kamu makan dulu ya," Ice tersenyum tipis diakhir kalimatnya, Ice tak mungkin bersikap manja pada Halilintar didepan Blaze begini karena nantinya Blaze pasti mengejeknya.

"Sayonara, aku tunggu dibawah ya!" Ice membalikkan tubuhnya lalu pergi dari sana tak lupa membawa kembali nampan yang tadi dibawanya setelah meletakan piring berisi nasi dan lauk pauknya serta segelas air.

"Dia nggak apa-apain kamu?" tanya Blaze, masih shock karena perubahan sifat Halilintar pada Ice yang berubah drastis.

"Emang dia apain aku?" Ice mengangkat sebelah alisnya bingung.

"Dia-tunggu," Blaze kembali masuk kedalam kamar Halilintar dan berdiri disamping Halilintar yang masih fokus pada ponselnya.

Halilintar menoleh, ia melepas earphone yang menyumpal telinganya, "kenapa? Gue bikin lo marah lagi?".

Blaze menoleh kebelakang untuk memastikan Ice sudah pergi dari sana atau belum dan saat tak melihat kehadiran Ice, Blaze menghela napas lega lalu selanjutnya duduk  diatas kasur menghadap Halilintar.

"Lo siapa?".

Halilintar mengernyitkan dahinya, sedikit bingung namun juga dia sadar akan sesuatu. Benar, Blaze pasti menyadari perubahan sifatnya yang benar-benar berubah drastis, dari aktif menjadi pasif.

"Halilintar gak pernah jadi fanboy Straykids. Gue ngerasa aneh saat lo didepan Papa, lo selalu bersikap seolah lo gak kenal Papa, biasanya bukan kayak gitu cara lo menghadapi Papa kan,".

"Biasanya lo suka ngerengek minta ini itu pas lagi sakit tapi sekarang lo nggak. Dulu sifat lo ngeselin karena apa-apa selalu bikin masalah dimana-mana, sampai Kak Taufan harus turun tangan buat nyelesain masalah lo,".

"Hidup lo gak pernah jauh dari bikin onar, sampai-sampai lo juga pernah berurusan sama geng motor terkenal di kota kita. Lo gila, mau jadi apa lo nanti?!".

"Dan sekarang lo berubah, seolah lo bukan orang yang sama dengan orang yang langganan tawuran pas SMP. Lo siapa sekarang?".

Halilintar mengangguk pelan ia mendengarkan setiap ucapan Blaze dengan seksama, "emang iya, ucapan lo itu bener Blaze-".

"Gue abang lo!" potong  Blaze, dia tak suka dipanggil nama oleh orang yang lebih muda darinya.

"Terserah." Halilintar mana peduli dengan yang namanya kakak karena toh Blaze sendiri tidak peduli dengan kehadirannya.

"Lebih baik lo pergi, gue gak suka liat sampah di kamar gue!" usir Halilintar, cowok itu tak nyaman ada Blaze disekitarnya lantaran Halilintar sedang ingin sendirian saat ini.

"Abaikan yang tadi, gue gak peduli lo mau berubah atau mau gimana, gue cuma ngerasa aneh aja kalau lo tiba-tiba kalem." Blaze menghela napas, cowok itu mengalihkan pandangannya kearah lain menelusuri kamar Halilintar.

Blaze tersenyum dalam hati karena tempat ini benar-benar rapi dan bersih sekarang, padahal terakhir kali dia kesini tiga bulan lalu tempat ini benar-benar seperti kota hancur yang di serang zombie dan Godzilla secara bersamaan.

"Minggu depan pertandingan terakhir, dan kalau bisa gue pengen sekolah kita bisa lolos ke kejuaraan utama. Gue berharap banyak sama lo," kata Blaze saat netranya tak sengaja melihat lemari berisi tropi dan medali.

"Lo gak denger? Pergi dari kamar gue," Halilintar mengulang ucapannya tadi.

"Gue masih belum maafin lo. Kalau seandainya lo gak minta jalan-jalan saat itu,  Bunda masih ada disini, Ice gak akan sakit, lo gak perlu jadi pengganti dia yang jelas-jelas udah gagal,".

"Lo ngomong apaan sih?" tanya Halilintar tak mengerti, demi apapun kepalanya pening karena terus menerima informasi dari berbagai situs.

"Lo bukan 'dia', lo gak akan bisa jadi 'dia', harusnya lo gak hilang ingatan biar ingat semua kejadian dimasa lalu." yang tadinya Blaze merasa aneh pada Halilintar, sekarang dia malah merasa aneh pada dirinya sendiri yang malah mengatakan hal ini pada Halilintar.

"Gue amnesia? Kapan?".

"Kenapa lo gak mati aja di kecelakaan itu? Kenapa bukan lo aja yang sakit? Kenapa harus Ice? Kenapa harus 'dia' yang pergi, kenapa lo yang hidup?" tatapan Blaze tampak terluka, cowok itu sudah tak tahan memendam semua pertanyaan itu sendirian.

Halilintar yang awalnya menatap kearah Blaze kini mengalihkan pandangannya kearah lain asalkan tak melihat Blaze, "jadi gitu alasan kalian benci gue? Makasih penjelasannya,".

Blaze menolehkan kembali kepalanya untuk melihat Halilintar, ia sedikit bingung dengan balasan yang diberikan Halilintar karena biasanya Halilintar akan menangis dan meminta maaf jika salah satu diantara saudaranya menyalahkan Halilintar tentang kejadian itu.

"Gue pergi, jangan sampai Papa kecewa buat pertandingan besok." Blaze berdiri dari posisi duduknya lalu akhirnya dia benar-benar pergi dari sana.

Setelah Blaze benar-benar pergi dan menutup pintu kamar itu, Halilintar akhirnya bisa bernapas lega.

"Apaan sih dia, nambah beban pikiran aja.".

──────TBC─────

Two Sided Life Where stories live. Discover now