#35 Perlawanan

12 7 5
                                    

Di dalam sebuah bar tua di pinggiran desa Rusvil, diisi oleh komplotan para pelaku tindak kriminal.

Di sebuah meja di sudut ruangan, Ratt dan anak buahnya menenggak sebuah bir hingga gelas kecil yang tergenggam menjadi kosong melompong. Sunyi yang tergambar dalam satu ruangan menjadi penanda jelas akan sebuah petaka yang secara tak menentu datang kapan saja.

Mungkin. Toh, tidak ada salahnya memanjakan diri sejenak setelah berhari-hari berkelana pada berbagai rintangan yang menguras energi. Lama jiwa terasa keluar dari raga kuat dan lemah dalam suatu hal. Tidak dapat menentukan itu sesuatu yang aneh atau malah sesuatu yang terdengar wajar. Seluruhnya tampak terasa sama. Hingga mungkin suatu saat nanti dalam momen kehidupan langka dapat menorehkan sesuatu yang lebih menarik dan aman terbebas dari kurungan penjara bahaya mencengkam. Tidaklah mungkin juga dapat memanjakan diri dengan berbagai hal ditengah kesibukan pekerjaan yang telah berseliwer dalam kebutuhan hidup selama mungkin yang dijalani dan butuhkan. Tak dapat dipungkiri juga nyatanya suatu hal besar datang menghampiri pada kehidupan menyenangkan yang sangat disayangkan menjadi sebuah penghalang akan sesuatu besar yang direncanakan.

Menggagalkan upaya hidup dalam artian berjuang dan bertahan. Segala semangat menjadi pupus sirna hingga dapat menemukan suatu pancaran harapan yang datang menolong atau mana dengan sukarela menjadi secercah harapan di tengah hamparan keputusasaan melanda seluruh jiwa dalam raga tak berguna. Tidaklah berfungsi atau barangkali berguna dalam diri yang menanti. Tidak juga demikian dalam beberapa hal disetiap doa yang terlantun di setiap detiknya. Bila memang mana belum terucapnya restu mengiyakan dalam hadirnya harapan, memang sulit dalam segala hal yang menjadi penghalang. Lagipula, siapa lagi jika bukan diri. Mengharapkan bantuan orang lain pun tak berguna sebagai penopang hidup tempat bergantung.

Asap rokok berterbangan menggosok tenggorokan hingga serak tak tertahan. Rasa kesepian dalam hidup rasanya terus-menerus mengungkungnya dalam paksaan lembut yang terus dijalani sukarela.

"Merokoklah ditempat lain! Menghirup aroma vanilla pun tak bisa kulakukan!" Sembur Sugar menendang kaki Akeldama dalam intimidasi.

Pria jangkung itu terkekeh menggelikan hingga menyodok sebuah botol bir pada kepalanya. "Kalau begitu tembak dia dengan pelurumu! Hirup sepuasnya hingga kau mabuk sebelum nyawamu hilang."

Terdiamnya Sugar si pria kru populer menjadi atensi tersendiri bagi si anak bintang--Akeldama. Mungkin. Jika dipikir-pikir lagi begitu jarangnya bocah itu terdiam begitu lama di suasana suram. Gitar yang selalu menjadi teman hidupnya tak kunjung juga dibunyikan dalam naungan sunyi. Seolah sedang menunjukkan secara terang-terangan perihal lara yang lama dipendam dalam nyanyian-nyanyian merdu. Menunjukkan bahwa 'Tidak ada manusia yang tidak memiliki luka' atau mungkin 'beristirahat dari segala kepura-puraan sejenak'. Yang mana intinya hal itu cukuplah memakan banyak pertanyaan tak terjawab dari benak Akeldama sendiri.

Pria bintang tersebut juga tidaklah ingin terlalu membuatnya semakin memikirkan sesuatu yang mengganggunya. Dengan meredam kejahilannya untuk membiarkan Sugar merenung dalam sejenak waktu semata.

"Hei Bajak Laut! Kurasa kita perlu bicara dengan kru elf-mu itu." Harry selaku pemimpin komplotan berdiri dengan kaki kanan menginjak kursi sembari bersedekap dada menatap keberadaan Alceena dipojokan.

Seluruh manusia--dengan perasaan tak karuan di wajah, menatapnya sedemikian Harry. Namun apalah peduli atau mana penasaran, justru bertindak acuh yang dilayangkan oleh gadis makhluk lain satu ini. Ia terlalu bosan menanggapi segala hal untuk sesaat. Terlepas dari bagaimananya solusi permasalahan, justru masa bodoh dan membiarkan sesuatu nyatanya terdengar lebih baik dari seribu solusi terbaik. Meski terkadang hal itu juga yang akan menjadi sebuah ramalan tak menentu.

THE LEXINE : Forbidden Love [REVISI]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin