BAB 67 : Sisa-Sisa Cerita

546 86 5
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───


SEWAKTU usianya mencapai 6 tahun, Ghaitsa ingat bahwa Johan selalu datang ke kamar tatkala malam jemput, memberi kecupan singkat dan usapan hangat sebelum pergi dengan langkah hati-hati usai membetulkan letak selimut. Ghaitsa juga ingat bila setiap sore Johan akan menggendongnya di pundak kemudia berlari kesana-kemari bersama puluhan capung yang beterbangan sampai sinar jingga perlahan meredup. Ghaitsa ingat betapa riang serta ringannya tawa mengudara sementara iris bulatnya membentuk lengkungan paling manis. Kala itu hujan deras mengguyur kota, gemuruh berhasil mengoyak habis kesunyian tengah malam bersama derik ranting dan kenangan-kenangan serupa lelehan cokelat tersebut mendadak menyergap benaknya. Hingga linangan air mata ketika Ghaitsa kelabakan mencari-cari album foto lama mereka di gudang menarik tuas emosinya semakin jatuh tenggelam dalam kubangan rindu.

Berjam-jam menangisi fakta yang takkan bisa ia tepis lagi. "Aisa pernah bahagia, mama.", kalimat itu terus-menerus ia rapalkan sembari mendekap erat-erat album foto usang dan berdebu tebal. "Aisa bahagia, mama."

Kendati memerlukan cukup durasi guna mencerna baik-baik akan apa yang pernah terjadi dulu sekali, Ghaitsa memilih melunakkan hati dan berhenti bersikap denial. Ia sudah cukup defensif beberapa tahun belakangan ini dan tidak ada yang berhasil tangannya rengkuh selain dendam, sakit serta duka berkepanjangan. Ghaitsa tergugu kala divisi kenangan memutar memori masa kecil seperti kaset rusak malam itu. Mengembalikan cerita semesra jingga menjemput bulan saat mentari usai dengan tugasnya. Ghaitsa luluh-lantak, namun sialnya dia tidak merasa sesak sama sekali selain perasaan membuncah akan egois lantaran menginginkan lagi.

"Aisa, anak Papa!" seru Johan sesudah lilin ulang tahun di tiup dan Ghaitsa mendarat dengan baik dalam dekapan kasih sayang sang ayah. Pelukan erat, usapan lembut dan senyuman menawan yang dulu selalu ayahnya tampakkan. "Bahagia selalu, Nak. Sehat selalu, Sayangnya Papa."

Untuk itu sekarang dia ingin menyudahi segala peperangan dingin nan menusuk-nusuk jiwa, meski terkesan egois sebagaimana Ghaitsa yang membuat mereka kesulitan. Ghaitsa ingin memperbaiki apa-apa saja yang bisa ia perbaiki. Selagi bisa. Selagi mereka masih bersama. Selagi mereka belum di pisahkan masa depan. Namun menilik dalam-dalam raut wajah empat laki-laki di hadapannya, Ghaitsa tahu penolakan akan di layangkan.

Haidden bersuara terlebih dahulu dengan ekspresi wajah sulit. Cukup keruh malahan. "Aisa, Abang tau kamu udah ngobrol baik-baik sama orang itu dan mau hidup sehat dengan lupain masa lalu. Tapi apa harus sampai begini?"

Ghaitsa mengerti. Toh, di sini yang terluka bukan hanya dia seorang saja tetapi empat kakak laki-lakinya juga merupakan korban. Hanya saja mereka memilih terlihat kuat agar Ghaitsa yang lemah ini memiliki tempat bersandar nan nyaman. Yaziel pun menimpali, rahang pemuda itu mengeras. "Dia nggak ngancem lo, 'kan? Dia ngehubungin lo atau gimana? Dia bilang apa, Aisa? Kenapa lo mendadak mau ngadain piknik keluar begini bareng dia?Nggak bisa kita berlima aja, toh, selama ini kita baik-baik aja hidup berlima. Kenapa sekarang jadi begini?"

Story Of Ghaitsa | Zoo UnitWhere stories live. Discover now