BAB 53 : Mengantarkan

1.5K 284 29
                                    

─── ・ 。゚☆ :

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

─── ・ 。゚☆ : .☽☽☽. : ☆゚• ───


TAUTAN jari-jemari merupakan manifestasi afeksi tipis-tipis dari jutaan nostalgia yang mati-matian ditahan. Pun satu persatu gundah gulana dalam kepala mendadak membesar hingga enggan pergi guna merajalela mengusik relung jiwa. Namun, mana bisa menarik kembali izin yang sudah dikantongi terhadap jadwal kepergian akan alasan sepele begitu. Ekspresi ditekuk lesu ini bisa-bisa menampakkan keegoisan mutlak di mana mimpi besar terancam batal terwujud. Kendati demikianlah Ghaitsa berhasil menapaki lantai berkilau dan hawa dingin dari bandara tanpa mendramatisir keadaan guna mengulur-ulur waktu keberangkatan Haidden.

Tolong berikan apresiasi sebab Ghaitsa sanggup tidak merengek tatkala koper-koper kepunyaan Haidden digeret masuk ke bagasi mobil pagi tadi. Itu merupakan pencapaian terbaik hari ini, bukan?

Mengerti benar bahwa bungsu Alexzander itu membutuhkan detik-detik khusus bersama Haidden sebelum ditinggal pergi menjauh dari jangkauan. Saudara Alexzander lain lantas sudi memberikan ruang bagi dua anak adam serta hawa tersebut membagi kehangatan satu sama lain bersama lilitan tangan puan manis begitu erat menjerat pinggang lawan.

Tentu saja, tingkah laku lucu ini mendatangkan kekehan gemas, terlebih sewaktu telapak tangan mengusap lembut surai sehitam jelaga yang terkasih. Dia merunduk kecil untuk mengintip sedikit raut mendung bergemuruh milik Ghaitsa. Ah, adiknya ini sedang menahan diri ternyata. “Aisa, mau ikut sama Abang aja nggak? Seminggu di sana terus pulang lagi ke sini?”

Segera mendongak, Ghaitsa menatapnya tanpa berkedipㅡhaa, astaga, lihat! Lihat bagaimana cara si manis menunjukkan air muka keruh bersama iris berselimut kristal. Sungguh, sang kakak tidak sampai hati harus meninggalkan Ghaitsa dalam kondisi seperti ini, akan tetapi mau diapakan lagi? Takdir sudah berbicara. Puan itu mengerjap lembat mengerucut mungil sebelum makin merapatkan diri. “Abangnya ikut pulang juga?”

“Enggak, dong. 'Kan, Abang kuliah di sana.”

“Yaudah, nggak usah.” Ghaitsa cemberut.

Lantas saja respon gemas tersebut mengundang gelak tawa dari dua belah bibir sulung nomot dua. Haidden serta-merta menangkup wajah menggemaskan itu dan menggesekkan hidung mereka sesaat sebelum berujar, “Anggap aja liburan berdua bareng Abang. Nanti singgah ke tempat-tempat estetik di Berlin. Nggak mau?”

“Enggak, deh.” Menyatukan kembali pipi pada dada bidang Haidden selagi mengeratkan dekapan. Perasaan berat ini benar-benar menghantuinya sepanjang minggu. Ghaitsa seolah memiliki alasan kuat untuk menentang kepergian sang kakak tetapi entah apa itu. Juga mengingat lagi bagaimana perjuangan Haidden selama ini menempuh pendidikan gila-gilaan sampai bergadang demi mendapat validasi atas bakat. Ia tentu tidak enak hati pula memaksa Haidden agar tetap tinggal dan merenggut impian besar sedari SMP tersebut. Jelas-jelas nggak adil, tentunya. Di samping mengetahui bahwa Haidden bisa-bisa saja menurut demi dirinya seorang. “Pas sampai di sana jangan lupa kabarin aku, tapi kalau capek karena pindahan. Malemnya aja. Nggak papa, istirahat dulu, bobo dulu. Cuaca di sana katanya lagi dingin, udah siapin mantel di tas buat di bawa ke pesawat? Udah, 'kan? Terus syalnya juga, aku yang rajut sendiri, lho. Udah belum?”

Story Of Ghaitsa | Zoo UnitWhere stories live. Discover now