BAB 21 : Pagi Sial, Katanya

1.6K 353 21
                                    

─── ・ 。゚☆:

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───

ENTAH bagaimana jadinya dan merupakan ide siapa, ruang tamu berubah menjadi tempat nyaman untuk tidur meski beralaskan kasur lantai milik Haidden dan Ghaitsa terbangun di tengah-tengah dua kembar. Dia lantas bangkit dan membenarkan letak selimut dua laki-laki tersebut yang kini justru saling menarik satu sama lain guna berbagi pelukan hangat. Kekehan geli sontak mengudara pelan bersama gelengan kepala. Pasti keduanya akan saling mengumpat ketika bangun tadi, padahal mereka cukup menggemaskan sekarang.

“Den, lo mikir jernih nggak, sih, sekarang?!”

Bentakan nyaring tersebut tentu saja mengalihkan fokus sang puan, derap langkah segera mendekati sumber suara yang berasal dari depan rumah. Dari balik jendela irisnya menangkap perawakan Haidden yang sedang menunduk dalam-dalam bersama seorang perempuan dengan air muka berang, bahkan matanya berkilat merah. Hanleia Agatha. Orang baik yang mau menerima kenyataan bahwa keluarga kecil mereka tidaklah selengkap orang lain. Namun entah karena alasan apa, hubungan Haidden dan Hanleia kandas setelah berjalan tiga tahun.

“Aya, maaf

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


“Aya, maaf. Aku nggak bisa.”

Orang tuli pun akan menyadari bahwa dari setiap rangkaian kata yang disuguhkan teramat lembut demikian berarti perasaan serupa tahun-tahun manis ternyata masih tersimpan, tidak jauh berbeda dengan dahulu.


“Biar gue yang ngomong sama Aisa.”

Sekuat tenaga Hanleia mencari celah untuk lepas dari Haidden yang terus-menerus mencegat langkah, sementara Ghaitsa membeku mendengar namanya keluar pada pembicaraan serius mereka. Haidden mencengkeram pergelangan tangan lawan tanpa berniar menyakiti, dia tersenyum sendu. “Aya, maaf. Aku beneran nggak bisa.”

Hanleia menyerah. Dia berganti memukuli dada bidang yang lebih tinggi sembari meluruhkan sedih sepagi ini. Puan tersebut terisak-isak kala kepala tertunduk sempurna. Haidden barangkali ingin sekali mendekap tubuh bergetar itu tetapi dia sudah tidak lagi memiliki hak, sehingga yang mampu diberikan cuma sebatas tepukan halus pada pundak sempit sang puan. “Aya, maaf. Aku justru terus-terusan bikin kamu sedih begini.”

Story Of Ghaitsa | Zoo UnitWhere stories live. Discover now