BAB 42 : Too Emotional

1.5K 332 72
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───

BERAGAM cemilan. Empat gelas es sirup perisa jeruk. Sepiring goreng pisang cokelat dan empat mangkuk ramen buatan Haidden yang telah tandas disudut meja. Sembari mengisi perut, mereka mendengarkan seluruh runtut cerita akan alasan mengapa hubungannya bersama Aubrey sekacau sekarang. Dari awal mula persahabatan manis mereka sampai menuju ujung mengerikan bagi dua gadis tersebut. Sementara itu para lelaki menunggu di ruang makanㅡmemantau bagaimana Yezira menangis sesenggukan bukan main, juga pada Joanna nan memaki-maki tiada henti dan Kanaya yang mendadak ingin mencari keberadaan sekaligus mengacak-acak rumah Aubrey berada.

“Jahat banget, huhu.” Yezira menyambar selembar tisu lagi untuk mengusap area yang sudah memerah total. Tidak jauh berbeda dengan bagian mata. Jangan lupakan lengkungan bibir yang meredup. “K-kok bisa-bisanya ada manusia jahat begitu, sih?”

Tahu-tahu suara lemah mengudara dari dua belah bibir Kanaya, perempuan itu tersenyum simpul. “Karena dunia indah seperti disneyland yang akan berakhir meriah di akhir cerita itu cuma sebatas dongeng. Sialnya, kita bukan bagian dari dongeng manis dan mengharukan demikian.” dan mengaduk minumannya sekilas gerak. “Kita ini … ” ia memandang satu persatu manusia di meja segi empat. “ … cuma boneka buat memeriahkan cerita supaya menarik ditonton dan setelah itu? Kita dibuang karena sama sekali bukan pemeran utama. Sama kayak Bonyok gue yang sinting, haha!”

“Mendingan kalau belum siap punya anak nggak usah nikah, deh.” Joanna menimpali ketus, dia melempar punggung pada kaki kursi guna memandang sukar dimengerti. “Mereka yang huru-hara mau nikah, nyiapin pesta ini-itu supaya bisa dikenang di kemudian hari. Eh, tau-tau malah berantem udah kayak musuh bebuyutan yang dipaksa tinggal satu rumah. Cinta apanya. Sengsara mah iya.”

Sesudah itu suara rengekan Yezira terdengar. “Maaf, nggak bisa nyeritain tentang orang tua. Mereka meninggal pas gue masih lima tahun jadi nggak inget banget tapi kata nenek mereka selalu ngajakin gue main akhir minggu, kok.” yang mana langsung dipeluk Joanna guna mendengar sepenggal kalimat. “Bersyukur, lo nggak punya Bonyok berengsek, Bestie.”

Mengulum senyuman tipis dan mencengkeram gelas dalam genggaman kelewat lembut lalu berkata. “Gue cuma punya mama dulu. Gue selalu ngebagi apapun ke mama, setiap apa-apa yang gue rasain. Baik itu perasaan minder karena punya abang-abang yang pinter, bakat yang nggak mau tanggung-tanggung bikin semua orang terpukau. Sementara gue? Mapel MIPA gue nggak ahli tapi nekat masuk jurusan IPA. Mengenai kesastraan dan bahasa? Ngapal aja gue harus begadang semaleman dulu baru bisa ujian tenang walau cuma berakhir mentok-mentok dapet KKM doang.

“Karena itu setelah nyokap gue pergi. Gueㅡ”

“Berencana bunuh diri tapi gagal?” sela Kanaya, nadanya terucap begitu santai tatkala menyambung lugas sembari bersedekap tangan. “Sama, sih. Gue pernah nyoba bundir juga, lho. Gila! Pengalaman sinting gue adalah loncat dari tebing dan sialnya malah diselametin ibu-ibu nyebelin yang sekarang gue panggil bunda.”

Story Of Ghaitsa | Zoo UnitWhere stories live. Discover now