BAB 30 : Masa Lalu

1.4K 322 27
                                    

─── ・ 。゚☆:

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───

GHAITSA.”

Pukul lima lewat dua puluh, petang hari. Halte Atraxia mulai kehilangan peminat. Mayoritas penduduk sekolah memiliki kendaraan pribadi namun bukan berarti aneh menemukan gerombolan murid-murid berdiri menunggu bus datang. Seperti Ghaitsa contohnya. Jujur, ia ingin mengendarai motor sendiri agar bisa pergi kemanapun tanpa menyusahkan siapapun, tetapi bila diingat-ingat bahwa lututnya pernah menjadi korban sebab nekat membawa lari motor Haidden. Maka dari itu Ghaitsa akan mengurungkan niat mulianya menabung uang ongkos.

Kendati demikian, sepanjang jalanan sepi karena waktu semakin larut, haruskan ia bersyukur ditemani oleh Artha yang berdiri tidak jauh di sana? Oh, ayolah. Ghaitsa hanya berharap dia pulang dan sampai tepat waktu di rumah, sungguh. Sesederhana itu permintaannya.

Obsidian sang manis memutar jengah dan berharap ada satu taksi lewat meski uang jajannya dipertaruhkan. Atau, bus datang lebih cepat dari jadwal kedatangan. Iya, dia maunya begitu. Ah, permintaan sederhana ini mana mungkin langsung terwujud seolah ada ibu peri yang mendengarkan dari balik pohon sana kemudianㅡcling! Seluruh harapan terkabulkan. Err, jangan bercanda! Toh, semesta selalu bekerja sedemikian samanya, tidak pernah berubah.

Dalam langkah kaku, Artha mendekat bersama gerakan canggung dan terlihat ragu-ragu tatkala menyodorkan sebuah tas tangan; kotak-kotak makanan di sana membuatnya terlihat berat. “Ghaitsa, saya masak cukup banyak hari ini. Saya belum makanan kesukaan kamu dan kakak-kakak kamu jadi semogaㅡ

“Semoga dunia hancur lebur, langit retak dan runtuh kemudian semua laut di dunia ini mengamuk sejadi-jadinya buat ngehancurin kalian.”

Tidak. Ghaitsa tidak bisa bersikap keran dan elegan serupa orang-orang di film yang diberikan luka begitu dalam nan menyakiti kewarasannya. Maaf-maaf saja, isi kepalanya enggan setenang telaga di hutan. Dia menatap nyalang wanita perusak harinya tersebut bersama sarat ingin menghancurkan sosok tersebut. Ghaitsa muak. Sikap sok baik Artha yang berkali-kali mengantarkan berbagai macam lauk-pauk seolah-olah tidak pernah ada peristiwa yang terjadi di antara mereka membuat Ghaitsa terbakar amarah. Jijik pun ikut merongrong raga bukan main tiap kalo wanita itu berusaha menciptakan konversasi sedemikian rupa sesaknya.

“Tolong enyah! Tolong jangan pernah muncul di hadapan saya lagi. Tolong jangan berpura-pura baik karena percuma. Percuma! Tinta hitam sudah terlanjur Anda tuang dan nggak bisa dibersihkan lagi. Eksistensi Anda sangat-sangat mengganggu kenyamanan saya karena saya takut lepas kendali untuk membunuh Anda. Karena zaman sekarang membunuh bukan perkara sulit lagi, mudah dilakukan meski tanpa pisau,” tandas Ghaitsa, nol berbasa-basi. Darahnya menggelegak sempurna di bawah kulit. “Tolong urusi saja keluarga sialan Anda yang akan selalu saya kutuk setiap detiknya sampai menderita ke titik terendah kehidupan hingga akhir hayat. Sebab itu bayaran setimpal bagi mama saya. PERGI!”

Story Of Ghaitsa | Zoo UnitWhere stories live. Discover now