BAB 17 : Ghaitsa Bertanya, Haidden Menjawab

1.9K 422 23
                                    

─── ・ 。゚☆:

Ουπς! Αυτή η εικόνα δεν ακολουθεί τους κανόνες περιεχομένου. Για να συνεχίσεις με την δημοσίευση, παρακαλώ αφαίρεσε την ή ανέβασε διαφορετική εικόνα.

─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───

JANGGAL bagi Ghaitsa menemukan dirinya menangis terisak di hadapan orang-orang baru. Jelas dia tidak pernah demikian apalagi terbiasa akan tetapi alih-alih was-was, sang puan merasa satu titik dukanya luruh. Sepasang pundaknya jauh lebih ringan dibandingkan sebelumnya. Ribuan pertanyaan hinggap dalam kepala tetapi bingung harus bertanya pada siapa, sehingga ketika bunyi bel pulang berdering. Ghaitsa lagi-lagi pamit undur diri terlebih dahulu, mengambil jeda serta ruang untuk benak berpikir.

Atas dasar apa Ghaitsa bisa seemosional itu?

Berniat mencari jawaban dalam derap lambat, termangu kosong dengan kepala menunduk menjelajahi setiap jengkal jalan. Singgah kesana-kemari pun ternyata tidak kapabel menarik Ghaitsa dari kubangan penasaran. Menunggu pun akhirnya bukan pilihan yang cukup tepat bagi Ghaitsa sekarang sehingga dia melangkah masuk, mengabaikan pandangan orang-orang tentang seragam mencolok Atraxia dan menghampiri segerombolan manusia yang sedang terbahak-bahak di meja kantin. Ghaitsa mengulurkan tangan guna mengetuk pundak sesosok pemuda yang sedang mengeluarkan lelucon.

Setelah mendapatkan atensi, Ghaitsa mengeluarkan suara alih-alih menjawab keheranan berpadu satu dengan kaget lewat raut wajah para manusia di sana. “Abang, Aisa mau nanya.”

Haidden terbelalak mengerjap. Dia menampar pipi sekali guna menyadarkan diri bahwa memang benar Ghaitsalah yang sedang berada di hadapan kini. Sorot iris sang adik sukar sekali ia artikan tetapi jelas menampilkan bahwa kebingungan Ghaitsa kali ini ingin segera diselesaikan, sampai-sampai datang menginjakkan kaki di tempat asing ramai manusia tidak dikenali terutama harus melewati perjalanan panjang untuk tiba di mari. Apalagi setelah meninggalkan rumah tadi pagi tanpa sepatah kata apapun. Haidden mengulum senyum dan membereskan barang-barang, melempar tawa kala pamit kemudian. “Gue cabut dulu. Ibu negara udah jemput, nih.”

Sebelum beranjak berlalu dari sana, Ghaitsa mendorong pelan dada sang kakak dan menyodorkan sekantung plastik. “Tadi beli martabak dua porsi, buat temen-temen Abang,” katanya nyaris mencicit lalu bersembunyi di balik sang kakak sebab enggan diperhatikan sedemikian rupa.

Ghaitsa akan menyalahkan diri sendiri nanti karena lupa bahwa seragam SMA Atrxia jelas akan mencolok di kampus Haidden sehingga menjadi pusat perhatian orang-orang bukanlah hal aneh lagi.

Haidden terkekeh geli, mengusak kepala sang bungsu sewaktu ujung hoodienya dicengkeram lemah. Dia berbalik guna meletakkan kantung plastik dan berujar, “Nih, martabak. Silakan dimakan, abisin sampe kotak-kotaknya juga boleh,” kelakarnya.

“Alhamdulillah! Rejeki anak sholeh!” Pemuda bertubuh besar menyahut senang, tak berselang lama kembali melirik gadis asing di belakang punggung Haidden. “Btw cewek lo, Den?”

Story Of Ghaitsa | Zoo UnitΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα