22. Mula Ada - Mau Dia

279 84 225
                                    

🌼 Lily

"Ciaaa!"

"Kenapa si? Aku ada di sini, loh. Jadi, nggak usah teriak-teriak. Aku nggak budek!"

"Aku patah hati!"

Aduanku masih sama. Dan tetap Kak Adrian yang jadi alasan utamanya.

"Ya. Kalau sakit, hatinya patah kelamaan, nanti aku sambung lagi. Biar cepet sembuh."

"Garing!"

"Kalau mau lukanya cepet kering, nggak sakit hati terus, kamu udahan dong nangisnya, biar mukamu nggak basah."

"Jayus!"

"Humormu yang lagi jongkok!"

Kepalaku ditoyor.

Tapi aku seperti tak ada daya, sampai tanganku tak bisa gesit membalas perlakuan sengit dari Cia.

Jadi kubiarkan jidatku terkena sentilan dari Cia yang kini sudah mendengus berulang kali dengan hembusan napas kesalnya.

"Aku lagi perhatian nih."

Coba katakan, bentuk perhatian apa yang sedang Cia maksudkan, sedang yang Cia lakukan saat ini adalah menemaniku dengan berbagai macam bentuk omelan.

Apa?

"Aku beneran lagi patah hati, Cia. Jadi, harusnya, kamu hibur aku, dong."

"Ini, kalau kita bukan bestie, udah kujambak rambutmu, Ly. Kuajakin berantem sambil guling-guling. Kujorokin sekalian. Bisa-bisanya tuh mulut enteng banget bilang aku nggak perhatian? Padahal, demi kamu yang lagi galau, jatah bucinku sama Alden jadi kurang nih."

"Nggak usah pamer sama jomblo!"

"Suaramu udah kaya pimpinan demo, Ly. Berisik!"

Cia makin jengkel dengan rengekanku.

Jadi kini aku langsung menumpukan wajah basahku di atas meja. Makin merengek di sana. Ingin menangis tambah kencang supaya lega. Tapi aku jelas gengsi karena kini sudah berada di tempat kerja.

Masih paham suasana. Jadi aku tak berteriak supaya semua rekan kerjaku tak mengalihkan pandangan mereka.

Takut diledek.

Khawatir juga kalau wajahku jadi jelek karena sudah menangis sejak tadi.

Menyebalkan sekali memang kalau sedang patah hati.

Semuanya jadi runyam.

"Aku mau lahir duluan kalau begini ceritanya. Jadi, aku bisa lebih dulu kenal sama Kak Adrian daripada Mba Dira."

Kumulai lagi aduan patah hatiku.

Yang untung saja, Cia sudah mulai bisa tenang dan tak lagi mudah emosi seperti sebelumnya, karena kini sudah ada sebungkus besar keripik kentang dalam dekapannya.

Memang ada satu kesamaan antara aku dan Cia yang tak bisa ditampik. Yaitu, bisa jadi luluh kalau sudah disuguhi makanan enak.

"Ya lagian, kamu udah jauh-jauh belajar sampai Australia, bukannya tambah pinter, malah jadi bego si, Ly."

Tapi kalau sudah makan, memang harus siap jadi bahaya sekali karena omongan Cia bisa sangat menjengkelkan.

Seakan mulut Cia jadi bebas sekali bergerak karena sedang mendapatkan tambahan tenaga begitu besar.

"Nggak boleh ngata-ngatain cewek cantik lagi berduka."

"Cantik, memang. Banget malahan. Tapi otak pintarmu lagi nggak utuh. Makanya jadi goblok. Soalnya kaya hilang separo."

Cinta Dua NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang