34. Pertukaran

3.2K 578 60
                                    

"Sora," panggilku terhadap roh anginku. "Ciptakan badai pasir untuk menggganggu penglihatan mereka."

Sora di dalam permata biru memang tidak menjawab, tetapi dia segera menciptakan angin kencang yang menyatu dengan pasir tebal. Pasir tebal yang mengacaukan penglihatan para monster mulai berputar-putar di udara secara kencang, menuai rasa kebingungan pada diri monster itu sendiri.

Memang benar apabila Sora adalah roh angin yang hebat. Dia memang mengacaukan penglihatan serta pergerakan para monster dengan badai pasir, tetapi aku bisa berjalan di dalamnya tanpa harus terganggu sedikit pun. Saat aku maju dan memasuki badai, seolah ada bola pelindung yang menahan angin supaya tidak mengenaiku.

Aku sedikit tersenyum, lalu menggenggam erat gagang pedang anginku. Tak membutuhkan waktu lama hingga monster-monster kecil itu mulai kutebas—Pixy yang memberi tahuku di mana lokasi para monster dan jumlahnya, sehingga ini sangat memudahkanku. Para monster juga tak bisa banyak melawan karena badai pasir yang bertiup dan membingungkan mereka. Ini juga menguntungkanku karena aku tak harus mengungkapkan diriku pada mereka, sehingga mereka tak akan mendapatkan kesepatan untuk mengeroyokku yang berakhir kekalahan untukku.

Aku mulai terbiasa dengan sensasi di mana aku menebas para monster di tanganku, sensasi di mana awalnya aku agak ngeri dengan perasaan tersebut.

Monster-monster kecil kini sudah habis kulawan, menyisakan beberapa monster berukuran sedang. Kebanyakan mirip dengan hewan, tetapi merupakan hibrida sehingga bentuk mereka aneh. Ada yang mirip unggas, tetapi memiliki kepala ular. Ada yang mirip dengan anjing besar, tetapi berkepala elang. Bahkan terdapat tanduk dan taring tajam yang aneh, serta beberapa orc atau goblin.

Merasakan sensasi angin di telapak tanganku dan mendengar arahan Pixy, aku mulai maju. Monster yang berukuran sedang rupanya bisa melawan, walau hanya menunjukkan senjata berupa kayu atau cakar, sebelum aku memenggal kepala mereka dengan mudah.

"Hati-hati di depanmu, ada yang mau mencakarmu seperti kucing!" seru Pixy.

Aku menujukan atensiku ke depan, hanya untuk menemukan monster sejenis babi hutan tengah maju padaku. Aku pun menebas monster yang menampakkan cakarnya padaku itu dengan mudah. Selepas memotong tangan berkuku runcingnya, aku menusuk leher monster itu hingga mati. Kemudian, tubuh tanpa nyawa monster itu tumbang dengan bunyi gedebuk kencang.

Aku tersenyum tertahan. Aku tak tahu hendak menjabarkan emosi apa saja yang kurasakan saat ini. Aku merasa senang saat ini karena bisa membela diri, tetapi pula ada perasaan takut yang tersisihkan karena aku belum terbiasa bertarung.

Namun, perasaan itu tak bertahan lama sampai aku merasa dadaku mulai sesak. Aku mengerutkan dahi, kenapa ini? Sambil terus menebas para monster, aku menahan rasa sesak di dadaku, aku jadi sedikit kesulitan bernapas, dan seolah ada hal yang naik ke kerongkonganku.

"Kelith Archer, monster ini yang terakhir~"

Trang! Si monster menangkis pedangku dengan cakarnya yang runcing. Namun, aku terus menyerang secara membabi-buta, enggan mengulur waktu lebih lama lagi karena rasa sesak di dada ini malah membuatku semakin tersiksa.

Tepat setelah aku membunuh monster itu, aku terbatuk berkali-kali. Rasanya menyakitkan hingga kedua mataku mulai berair. Kemudian, satu-satunya yang membuatku syok adalah, aku merasakan cairan amis keluar dari mulutku, bersamaan denganku yang kesulitan menghentikan batukku. Dadaku pun makin terasa nyeri, aku mulai kesulitas bernapas sepenuhnya, dan aku berlutut di tanah.

Darahku menodai rumput yang hijau, sedikit menyatu dengan darah para monster yang kubunuh.

Sial, apa yang terjadi padaku sebenarnya?

Suddenly, I Became the Hero's FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang