29. Kontrak Roh

4.2K 728 83
                                    

Pakaianku dan Dillian yang awalnya bersih dan kelihatan cerah, telah berubah kotor dan kusam karena kami menggali tanah dengan kedalaman lima meter menggunakan alat seadanya. Memang roh angin yang merepotkan.

Pixy enggan membantu kami. Padahal dengan kekuatan anginnya, dia bisa membuat tanah terbalik dengan mudah. Aku skeptis dengan pemikiran bahwa Pixy memang ingin membuat kami tersiksa atau tengah menguji kami untuk menyelamatkan saudaranya. Sebab, perangai roh angin memang demikian, tak memiliki rasa simpati.

Sepertinya, kami kembali ke zaman purba di mana kami hanya menggunakan batu dan kayu untuk menggali tanah. Dan ini benar-benar melelahkan. Lima meter mungkin bisa dilalui dengan mudah apabila berjalan, tetapi menggali tanah tidak semudah yang dibayangkan. Terlebih ketika tidak ada peralatan memadai yang bisa membuat pekerjaan ini menjadi lebih instans.

Di depanku, sudah terbentuk lubang berdiameter kurang lebih satu meter dengan kedalaman hampir lima meter. Sedikit lagi sampai permata biru itu bisa aku raih.

Beruntungnya, aku memiliki kekuatan seorang protagonis yang akan menjadi pahlawan di kemudian hari. Dillian benar-benar sangat membantuku dalam proses penggalian tanah-sebenarnya bahkan tiga perempat pekerjaan menggali, Dillian yang melakukannya, dia memaksaku untuk duduk saja sambil menonton. Walau memang memakan waktu hampir setengah jam, aku akhirnya bisa melihat kerlipan cahaya yang memantulkan cahaya natural, separuh tertimbun tanah hingga batu permata itu agak kotor, ukurannya kecil sekali, tetapi hanya dengan merasakan aura yang keluar dari sana, jelas-jelas itu adalah permata biru di mata roh angin bersemayam.

"Saudaraku! Saudaraku di sini~" Pixy berputar bahagia, seolah mengabaikan betapa lelahnya aku dan Dillian secara fisik dan mental.

Tubuh dan pakaian kami kotor, kami berkeringat, dengan energi kami yang terkuras habis. Sorot kami masam karena kelelahan harus menggali tanah tanpa jeda. Akan tetapi, roh angin yang tak dapat bersimpati, buta akan pemandangan ini.

Aku menghela napasku.

Aku melirik Dillian yang memasuki lubang dengan kedalaman lima meter itu. Perjuangannya tak bisa dirangkai oleh kata-kata saking berjasanya ia. Tak lama kemudian, Dillian mengambil permata biru itu, lalu diserahkannya padaku.

"Ayah, ini." Dillian bahkan memperlakukan permata biru itu dengan sangat hati-hati, seolah membawa porselen rapuh.

"Terima kasih, Ian." Aku tersenyum, lalu mengulurkan tanganku supaya bisa membantunya keluar dari lubang kecil itu.

Dillian dengan sigap segera meraih tanganku, lalu aku pun menariknya keluar dari lubang itu.

Setelah kami berdiri bersisian-sambil mengabaikan betapa berantakannya hasil galian kami serta gundukan tanah di dekatnya, pandangan kami tertuju pada permata biru di tanganku. Oke, bentuk permatanya bulat dan kecil, berkilauan kala ditimpa cahaya matahari, dan sedikit kotor serta berdebu, mungkin karena tertimbun di dalam tanah entah untuk berapa lamanya.

Namun, mengapa itu diam saja, ya? Padahal Pixy sudah berisik di samping kami sehingga membuat telingaku sedikit berdengung karena suaranya ditransmisikan langsung pada otakku.

"Kakak~ Ayo cepat keluar, lihat siapa yang ada di sini!" seru Pixy tanpa henti, suaranya riang dan ceria, benar-benar mengungkapkan pribadi yang positif apabila aku tidak sedikit meragukan jika roh itu memang tak memiliki rasa simpati.

Namun, hening. Permata biru itu tetap "bungkam", bahkan tak ada pergerakan apa pun dari sana. Apakah ini permata biru asli di mana Dillian dalam novel seharusnya mendapatkannya?

"Pixy, apakah benar di dalam permata ini saudaramu berada?" tanyaku dengan ragu.

"Benar! Benar! Aku mana mungkin salah mengira saudaraku sendiri!" gerutu Pixy, mungkin jika dia memiliki wajah dia akan cemberut. "Kakak, jangan bersembunyi di sana! Padahal aku sudah menghampirimu jauh-jauh, dan kita sudah berpisah ratusan tahun! Aku merindukanmu~"

Suddenly, I Became the Hero's FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang