Ayat 23

22 7 6
                                    

Ayat 23

Aurora keluar dari salah satu ruang kelas 12 yang dijadikan tempat rapat rohis. Jika biasanya akan diadakan rapat di masjid atau taman depan masjid, kali ini mereka memilih di ruang kelas, lantaran lebih leluasa dan tidak mengganggu orang yang ingin beribadah.

"Ra, kamu pulang naik angkot?" tanya Jannah sembari menarik resleting tasnya dengan berjalan bersisihan bersama Aurora.

"Iya. Kamu duluan aja."

"Enggak mau aku anterin? Mumpung aku bawa motor."

"Enggak usah, rumah kita enggak searah. Kasihan kamu udah sore, mbok nanti pulangnya kesorean nabrak maghrib."

Jannah mengangguk. "Ya udah, aku duluan, Assalamu'alaikum."

Aurora mengangguk sembari menjawab salam. Seperginya Jannah, Aurora berjalan menuju halte, dari kejauhan gadis itu dapat melihat sosok yang dikenalnya ada di sana--sosok pemuda yang belakangan sering wara-wiri dalam jangkauan Aurora. Benua Utara Abadi--entah apa yang membuat laki-laki itu menyukai Aurora, gadis itu tidak tahu. Dan penolakan adalah sesuatu yang dirasa cukup tepat untuk Ben. Sebab Aurora tidak akan sanggup jika benar-benar terjatuh dalam pesona laki-laki urakan itu. Aurora hanya takut sakit hati, patah hati dan kecewa--terhadap angannya sendiri. Sebab hanya Allah tempatnya berharap, hanya Allah tempatnya meminta segala sesuatu.

Sebenarnya, Aurora menyadarinya, hanya saja dia terlalu abai dan enggan mengakuinya bahwa dia--telah jatuh cinta pada laki-laki itu. Aurora pikir, jatuh cinta pada Ben pun percuma, sebab mereka beda. Aurora menganggap perasaannya hanya angin lalu. Tembok yang Aurora bangun tinggi-tinggi pada akhirnya roboh, berhasil dibobol tanpa Ben memanjatnya. Dan kini, Aurora sedang mengumpulkan sisa-sisa reruntuhannya.

"Habis rapat rohis?" tanya Ben tak luput disertai senyumannya.

Aurora mengangguk, lalu duduk di seberang Ben, berjauhan.

"Ra, urusan gue sama Brenda udah selesai, sesuai saran dari lo. Dan ya, gue juga merasa lega. Enggak merasa terbebani lagi."

Aurora hanya mengangguk, menatap jalanan di depannya.

Ben menoleh menatap Aurora yang jaraknya lebih dari satu meter.

"Makasih, Ra."

Baru Aurora menoleh, dia melihat tatapan tulus dari Ben. Gadis itu buru-buru mengalihkan atensinya, sembari beristighfar dalam hati.

"Kamu berterima kasih sama diri kamu sendiri dulu. Sekeras apapun nasihat dan saran, kalau yang diberi nasihat enggan melawan egonya sendiri untuk mencoba melakukan nasihat yang diberikan, ya nothing changes, it's about ourself. Bagaimana kita mengontrol diri kita. Semua berasal dari diri sendiri. So, thanks for yourself first, already?"

Ben mengangguk disertai tawanya, bukan tawa mengejek, tapi tawa yang kesan akan ketulusan. Ben menatap Aurora. "Lo lagi belajar bahasa Inggris, Ra? Tumbenan?"

"Habis nonton film Korea, dan translatenya bahasa Inggris, jadi kebawa sampai sekarang."

Ben kembali tergelak. "Kamu nonton film Korea?" agak tidak menyangka.

Ada yang janggal dalam ranah pendengaran Aurora. 'Kamu' kata Ben. "Kamu ganti panggilan 'lo' jadi 'kamu'?"

"Lagi ngomong sama orang yang kalau ngomong pakai 'aku-kamu', jadi kebawa sampai sekarang."

Aurora ikut tertawa melihat Ben tergelak. Menggelengkan kepala, merasa obrolannya dengan Ben ternyata lumayan asyik. Aurora buru-buru menormalkan raut wajahnya, beristighfar dalam hati.

"Aku tanya, boleh?" Aurora menoleh ke samping di mana Ben berada. Masih asing sebutan 'aku-kamu' kalau yang bicara adalah Ben, seorang berandal yang suka cari ribut sana-sini.

Cinta Sang Al KafirunWhere stories live. Discover now