BAB 7 [SATU SAMA]

1.4K 143 22
                                    

"Jadi putri pertama Marquis Danten mengirim surat lamaran lagi?" Lohan menompang dagu seraya mengamati surat yang terbuka lebar diatas meja. Ini bukan kali pertama dia mendapat surat lamaran. Para orang tua yang haus akan kekuasaan itu secara konsisten menyodorkan perempuan untuk Lohan nikahi.

"Apa ku bunuh saja ya?" gumam Lohan. Dia lalu menggeleng pelan. Bisa panjang urusan jika dia membunuh anak Marquis. Lagipula Lohan juga memiliki beberapa bisnis dengan tua bangka satu itu.

"Hah, aku harap bisa segera memamerkan Rose." Lohan menghela nafas. Menunggu beberapa minggu lagi ternyata terasa sangat lama. Padahal semua masalah ini bisa segera teratasi jika orang-orang tahu bahwa kini Lohan telah memiliki kekasih.

Lohan tiba-tiba saja tertawa geli. Kira-kira bagaimana reaksi orang-orang ketika ia menggandeng Rose dipesta pertunangan putra mahkota. Pergaulan kelas atas pasti akan heboh dan para perempuan itu akan mulai mencoba mengorek asal-usul Rose.

"Anda juga harus membaca surat yang ini." Austin mengulurkan satu surat bertempel kerajaan.

Lohan menerimanya dengan dahi mengerut. Surat berwarna biru itu ia buka. Kerutan didahinya semakin dalam ketika ia membaca setiap kata yang tertulis disana.

"Apa yang dikatakan Nona Isabel?" tanya Austin. Dia bisa menebak semua isi surat yang datang pada Lohan, kecuali surat yang dikirim oleh calon tunangan putra mahkota.

"Dia mengundangku minum teh."

"Apa Anda akan menerima undangan itu?"

"Entahlah."

Jawaban itu membuat Austin menatap Lohan dengan cemas. Masalahnya hubungan antara Nona Isabel dan Lohan tidak cukup bagus. Kedua orang ini pernah dikabarkan terlibat semacam skandal.

"Lupakan surat-surat bodoh ini. Sekarang berikan laporan tentang kucing liarku."

Austin menutup map yang sejak tadi ia buka karena laporan yang selanjutnya ia sampaikan adalah sesuatu yang lebih membutuhkan kesabaran dibandingkan kepintaran.

"Hari ini total Nona menghabisi tiga ular peliharaan Anda." Austin meringis ketika mendengar tawa terbahak dari Lohan. Pria itu menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kembali laporannya.

"Pagi tadi Nona juga membuat lima pelayan mendatangi saya sambil menangis ketakutan."

"Astaga!" Lohan menghempaskan punggungnya kesandaran kursi dan lanjut tertawa dengan lebih keras. Mendengar segala kekacauan yang dibuat oleh Rose selalu menjadi hibur di hari-harinya yang membosankan.

"Saya rasa Anda perlu berbicara dengan Nona Rose untuk sedikit lebih ramah—"

"Untuk apa?" Lohan memotong tidak setuju. "Aku bahkan ingin dia lebih ganas lagi."

"Yang Mulia..." Austin hanya bisa pasrah mendengar ucapan Lohan.

"Ah tambah lagi koleksi ularku dan pindahkan kandang mereka ke samping kamar Rose."

"Yang Mulia..." Kali ini Austin frustasi. Adakah seseorang yang bisa mewakilinya memukul kepala pria didepannya ini?

"Dan buat surat balasan untuk Isabel. Katakan padanya aku akan memenuhi undangannya."

Sekarang Austin benar-benar ingin mengundurkan diri.

"Saya akan menulis surat balasannya."

"Hm."

Austin pamit undur diri. Sepanjang langkahnya menyusuri koridor, dia terus menghela nafas. Lelah yang ia rasa sepertinya juga dialami oleh Rose yang baru saja menyeka keringat dengan lengan bajunya.

POISON ROSEWhere stories live. Discover now