Aku bekerja di departemen pemasaran. Seharusnya, itu adalah departemen normal yang banyak ditemukan di perusahaan yang lain. Namun tiba-tiba saja, kehidupan normalku harus melambaikan tangannya padaku karena aku mendapatkan atasan yang kurang baik.

Emosinya mudah meledak-ledak sehingga para karyawan mau tak mau harus memaklumi emosi atasan kami kalau tidak mau dipecat. Aku adalah salah satu orang yang bertahan di sana. Sebab, aku terpaksa bertahan karena menjadi tulang punggung keluargaku yang baru itu tidak mudah. Adikku harus sekolah, ibuku yang ditinggal cerai oleh ayahku harus kunafkahi. Oke, sekian gambaran kehidupan menyedihkanku, mari kita fokus pada ujian ini.

Setelah naik kereta dan turun di stasiun dekat dengan perusahaan tempatku bekerja, aku mendapati gedung dengan puluhan lantai itu berada di hadapanku setelah beberapa menit berjalan kaki.

Aku mengembuskan napas. Meski tahu bahwa ini tidak nyata, orang-orangnya, bangunannya, suaranya, lingkungannya, semuanya adalah ilusi yang diciptakan oleh roh angin. Maka, aku tidak perlu gugup atau merasa cemas. Aku hanya tinggal perlu melawan mereka semua, maka segalanya akan berakhir.

"Keith?"

Ketika aku bersiap untuk memasuki gedung, aku menolehkan kepalaku kala mendengar namaku dipanggil. Keith. Namaku, nama asliku, berstatus sebagai seorang pria pekerja kantoran berusia 27 tahun yang masih lajang.

Sementara orang yang memanggilku adalah seorang wanita cantik dari departemen keuangan. Kami kebetulan saling mengenal karena memasuki perusahaan di saat yang sama.

"Sonata?" Aku memaksakan senyumanku pada wanita itu. Berkat wajahnya yang ayu dan keterampilannya, Sonata kini dikenal sebagai wanita rendah hati di antara para karyawan perusahaan. Namun, Sonata di hadapanku adalah ilusi. Dia tidak nyata.

"Jarang sekali lihat kamu datang terlalu pagi," ujar Sonata, dia lalu berjalan memasuki gedung, diikuti olehku.

"Mungkin karena aku bangun lebih pagi dari biasanya," balasku.

Sonata tersenyum lebar. "Bagus, dong! Harus ditingkatkan lagi ya, supaya nggak dimarahin Pak Bos karena selalu datang pas jam masuk."

Saat tiba di hadapan lift, aku menekan tombol lift. Karena kami bekerja di departemen yang berbeda, ruang kerja kami juga berbeda lantai. Aku memiliki pekerjaan di lantai empat, sementara Sonata ada di lantai lima. Namun, tepat setelah pintu lift terbuka, rupanya ada yang baru saja turun dari lantai atas. Dan wajahku masam begitu aku mengenali wajah mereka.

"Wah, wah, siapa di sini?"

Orang yang berada di hadapanku saat ini adalah teman SMA-ku. Dia adalah pria yang seumuran denganku, tetapi memiliki mental bocah. Dia tidak akan pernah puas atas perihal apa pun jika ada kaitannya denganku. Misalnya, bukan tanpa alasan dia bekerja di perusahaan yang sama denganku, masuk di saat yang sama denganku, tetapi naik jabatan dengan cepat. Dia adalah orang-orang yang mengandalkan orang dalam untuk meraih apa yang diinginkan.

Padahal menurutku, orang ini sudah sangat kaya. Bahkan bekerja di perusahaan game seperti ini tidak diperlukan karena keluarganya memiliki bisnisnya sendiri. Namun, terdapat suatu alasan mengapa orang ini mengikutiku sampai ke lingkungan kerja begini.

"Keith sama Sonata, berangkat bareng?"

Sonata menggelengkan kepalanya. "Kami ketemu di depan."

Pria dewasa dengan mental bocah itu sendirian, tetapi seperti memiliki kepercayaan diri selangit seolah ada ribuan orang di belakang punggungnya, saat masanya dia tengah menggertakku. Bahkan saat dia bersama komplotannya, gertakannya semakin memanas.

"Oh." Kael, sebut saja nama pria itu, dia mengangguk disertai senyuman miring. "Aku pikir, kamu lagi cari sensasi sama Sonata. Terus ngerebut perempuan paling top di perusahaan ini dan dimonopoli. Sama kayak masa SMA, iya, 'kan?"

Suddenly, I Became the Hero's FatherWhere stories live. Discover now