Bersandar.

4.7K 669 61
                                    

"Mana nih kok gundik lo nggak diajakin sih?"

Sesuai schedule yang dibagikan oleh Sekretarisnya, siang ini Paradikta ada agenda meeting di luar.

Yasmin Abhar dari Mika Karya rencananya akan terbang ke Brussel. Kabarnya baru akan kembali mungkin sekitar dua sampai tiga mingguan ke depan. Tentu kalau sampai meeting ini lagi-lagi diundur, Paradikta akan makin banyak kehilangan kesempatan.

Itulah mengapa sewaktu pagi tadi Sekretarisnya bilang, "Pak, Bu Yasmin minta ketemuanya di airport saja. Apakah Bapak bersedia?"

Walau pun Paradikta harus menempuh perjalanan yang tak singkat ke Tangerang, dia memutuskan untuk menuruti cara kerja dari orang nomor satu di Mika Karya itu. Well, ada keretakan hubungan kerja sama antara Mika Karya dengan VER. Paradikta sih duga alasannya sedikit pribadi, mengingat Norega beserta Yasmin selama ini memang tak pernah akur. Oh, lagi pula, siapa sih yang tahan berafiliasi bersama manusia macam Norega itu? Paradikta sudah sering mengalami sendiri betapa Norega seperti punya bakat alami untuk membuat orang naik pitam dan tak nyaman!

So, ya, Paradikta melihat ini sebagai sebuah peluang. Bagaimana pun Mika Karya adalah salah satu produsen kain unggulan di negeri ini. Sudah lama Paradikta mengincar untuk punya relasi, tetapi Yasmin memang kritis sekali.

Lalu, bicara soal Yasmin yang irit bicara serta sangat membenci orang berisik, jelas kata-kata kasar yang Paradikta dengar barusan tidaklah berasal dari mulut perempuan itu yang terhormat.

Paradikta sedang duduk tanpa Sekretarisnya di salah satu kedai kopi paling sepi pada Terminal 3. Menunggu Yasmin yang barusan diinfokan sudah tiba, tetapi entah mengapa tak kunjung kelihatan batang hidungnya, saat mendengar Ilmayara Djamaris yang seharusnya langsung pergi—boleh jadi untuk boarding, secara dia hobi sekali melancong ke luar negeri—setelah mendapat kopinya justru sok akrab datang menghampiri meja kosongnya.

"Masih punya muka ya lo udah khianatin Om, eh sekarang malah masih mau manfaatin beliau buat pansos ke Senayan?" kritiknya.

Di sepanjang pernikahannya, Paradikta tak terlalu kenal dekat dengan Ilma. Well, betapa pun wajahnya mirip Saniya, tapi perempuan ini memang tidak menyukainya sedari awal. Di setiap acara pertemuan keluarga kalau berpapasan dengannya pun Ilma akan membagi pandangan sinis entah apa masalahnya? Padahal mereka bahkan tak pernah saling mengenal sebelumnya.

"Ngaca, Anjing! Rakyat tuh nggak pernah butuh wakil-wakil kayak lo! Ngurus keluarga secuil aja nggak becus udah sok-sok-an mau ngurusin rakyat! Kenapa sih manusia-manusia kayak lo gini nggak pernah sadar diri? Kalau nggak punya potensi itu berhenti daripada nanti-nanti malah bikin semua susah!"

Wajah Paradikta tak cuma mulai nampak di baliho-baliho pinggir jalan, tapi juga layar kaca. Berkat siapa? Berkat mertuanya juga Gustiraja yang sangat bersemangat menenggelamkannya di dunia yang katanya akan sulit dikeluari jika sudah sekali dimasuki.

That's why dia berkeras untuk gagal. Sayangnya, Ilma belum tahu. Jadi, sambil menyesap kopinya Paradikta enteng membalas, "Gue akan sangat berterima kasih andai lo berhasil kasih tahu rakyat-rakyat itu untuk nggak memilih gue."

Namun, Ilma mungkin justru menganggapnya sedang menebar kesombongan sehingga dia lantas mendecih-decih jijik, seraya lanjut memberondong ganas, "Kebuka juga kan topeng lo akhirnya! Sial banget Saniya mesti ketipu selama ini. Jadi, berapa bulan lagi tuh anak lo sama Si Perek lahir? Kalau udah lahir ntar Naga diterlantarin lagi. Haruskah gue mulai diskusi sama Om buat menunjuk kuasa hukum demi menggugat hak asuhnya Naga?"

Mengurai kakinya yang saling tumpang-tindih, Paradikta akhirnya menegapkan duduknya dan mendongak. Menatap tak kalah sinisnya ke arah Ilma.

"Kenapa lo sebegini kecewa?" tantang Paradikta. "Diam-diam pengin nikah sama gue juga?"

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang