Balasan Prisha.

5.6K 720 57
                                    

"Ibu nggak ikut turun?" Nur Ami sudah di luar mobil bersama Naga yang sebelah tangannya sedang protektif digandengnya. Ah, agaknya gadis ini berhasil diampuni oleh Paradikta.

Ugh, apakah laki-laki itu masih punya sisi baik? Cih! Alasan mencari Suster yang sekarang makin sulit sepertinya lebih masuk akal menjadi alasan mengapa Paradikta masih mempertahankan seseorang yang sempat punya andil dalam bikin celaka anaknya.

Tentu. Jika memang Paradikta sepemaaf itu, dia harusnya tak perlu semendendam ini terhadap Prisha hingga berambisi bikin susah hidupnya kan?

Nur Ami pun mungkin juga nggak akan lolos dengan mudah. Dia ada di sini sekarang boleh jadi hanya berkat Naga terlanjur nyaman dengannya.

Prisha mengedipkan netranya untuk menyadari sepenuhnya kalau mobil yang dikendarai oleh Pak Rahmat telah terparkir di pelataran salah satu Preschool International di kawasan Cilandak.

"Ah, ya."

Prisha lekas menggantungkan tas selempangnya lalu menyusul turun demi bergabung bersama Naga yang sebenarnya andai bocah itu tak hampir menangis sambil bilang kalau dia rindu kepada teman-temannya, Paradikta pastilah tak akan mengizinkannya pergi.

Prisha saja rasanya ngeri mendapati tangan anak itu yang belum sembuh total. Bagaimana bila nanti ada teman yang menyenggolnya? Bagaimana kalau dia jatuh lagi? Apakah cederanya tak malah makin berbahaya?

Untuk pertama kalinya Prisha berharap Paradikta bisa lebih keras kepala dan mempertahankan Naga supaya tetap di rumah. Sayangnya, apa pun harapan Prisha terhadap Paradikta selalunya berlaku sebaliknya.

Well, bicara soal sekolah Naga, itu merupakan sebuah kawasan elit sampai-sampai Prisha ragu untuk merangsek lebih dalam. Di sekelilingnya dia melihat seliweran anak-anak di-drop oleh mobil-mobil mentereng.

Menyaksikan seluruh pemandangan itu, entah mengapa Prisha merasa kalau hidupnya jungkir-balik dengan lucu sekali. Minggu lalu dia masih melihat orang-orang yang hilir-mudik berangkat ke ladang, tapi hari ini dia justru melihat para sosialita yang bercipika-cipiki singkat saat mengantar buah hati mereka.

Prisha baru berhenti melamun sewaktu Naga yang tadi digandeng Nur Ami tiba-tiba berbalik demi menyentuh samar ujung jarinya.

"Nte anterin Aganya sampai ke dalam, iya?" Anak itu bertanya begitu Prisha menunduk untuk mengeceknya.

Tak langsung menjawab, Prisha sejenak tertegun. Merasa bingung guna mendefinisikan perasaannya di tengah situasi yang terjadi hingga dia refleks menimpali kaku, "Boleh?" Prisha sendiri nggak tahu apakah orang tua juga diperbolehkan ikut masuk?

Hish! Apa barusan pikirnya? Orang tua?

Apakah Prisha baru saja menyebut dirinya orang tua? Huh, gila sekali!

"Aga mau." Namun, perempuan itu tak tertarik untuk terlalu meladeni kecamuk di benaknya kala Naga tahu-tahu mengangguk takzim. Binar di netra bocah itu pun terkesan antusias terutama saat dia mengimbuhkan dengan ceria nan malu-malu, "Aganya mau banget banget diantar sampai depan kelas sama Nte. Iya?"

Entah mengapa dia sesenang itu cuma karena diantar oleh Prisha. Apakah dia ... rindu Mamanya?

Prisha melirik Nur Ami yang masih menggendong tas Naga sambil manggut-manggut seolah mengabarkan kalau permintaan Naga itu adalah hal yang wajar.

Prisha baru hendak menghela napasnya sewaktu Naga tiba-tiba meraih jarinya yang tadi sempat ragu-ragu bocah itu sentuh. Menggandengnya longgar bersama pipi memerah, anak itu langsung menarik Prisha agar mengikutinya melangkah masuk.

Mereka berhasil melewati pintu kaca yang luar biasa besar saat mata Prisha melihat sosok-sosok yang familier sudah berdiri bagai tihang pancang di kejauhan.

Jangan Ada Air MataWhere stories live. Discover now