Anak Kamu, Katanya.

5.5K 686 67
                                    

Cévo Group masih betah berkantor di gedung bertinggi dua puluh lantai pada wilayah Selatan Jakarta. Nggak banyak yang berubah, lantai dasarnya seakaan telah paten dikuasai oleh Cévo Home, meski kini di lain sudutnya juga tampak ada kedai kopi.

Prisha tak akan menampik jika Paradikta yang dulu memanglah seorang visioner. Berangkat dari idenya yang sekitar lima tahunan lalu tergabung di Tim Marketing, mereka memutuskan menyulap lantai satu yang semula cuma typical lobby monoton dengan intensitas orang berlalu-lalang tanpa memuat tendensi untuk lama berdiam menjadi tempat beristirahat nongkrong yang asyik—em, ya sekaligus tempat membuang uang bagi mereka-mereka yang kelebihan atau baru gajian.

Bagaimana enggak?

Di sana mereka punya satu outlet super-luas, mengusung design chic nan luxury—didominasi warna snowbound serta elements including wood seperti halnya ciri khas outlet-outlet lain Cévo—bak walk in closet pribadi. Tambah digemari khususnya oleh para Selebriti sebab, biasanya produk-produk yang terpajang secara terbatas di Cévo Home merupakan pre release. Ada jeda sekitar sebulanan sebelum beberapa di antaranya menyebar di pasaran.

So, ya, who doesn't like to spot new trends early on and spread these fads to new locations and social groups?

Jika memungkinkan tentu tidak ada orang yang rela untuk selalu be into trends sebagai followers. They want make a trend itself! They would love to be a trendsetter!

Tak mengherankan kalau waiting list yang tersupremasi oleh kaum-kaum pemuja framing sebagai makhluk ter-hits tersebut begitu ramai setiap bulan.

Dulu, saking banyaknya Selebritis yang melirik sempat ada wacana kalau mereka akan mengadakan Cévo Home for Celebrity di salah satu lantai lain di gedung ini. Entah seperti apa nasibnya, Prisha sudah keburu dipaksa hengkang sehingga nggak pernah tahu terkait kelanjutannya.

Namun, mengingat di lift tadi dia sempat papasan bareng Pamela Harris—Selebriti yang seminggu ini kabar perceraiannya tiada bosan digunjing bahkan oleh ibu-ibu yang setiap pagi mengerumuni gerobak sayur keliling di kampung Prisha—agaknya ide tersebut mungkin betul-betul telah direalisasikan.

Well, ya, setelah beberapa kali terjebak macet tanpa bisa apa-apa dari Tomang sampai Sudirman, telepon yang Paradikta terima justru membawa mereka ke kantor lama Prisha.

Lantai sepuluh adalah lantai yang Prisha akrabi. Nyaris dua setengah tahun setiap pagi Prisha jadi orang kedua yang datang setelah Petugas Kebersihan. Kendati saat ini sudah hampir tiga tahun dia jarang sekali berdiam di ruangan ber-AC demi menghadapi seperangkat komputer, tetapi jujur, Prisha tetap rindu pantry. Tempatnya memakan bubur ayam yang dia beli di jalan saat berangkat, atau sebatas nasi dan gorengan telur ceplok—tentu saja hasil masakan ibu, beliau mana mau lah bangun siang, serta berpotensi memakan kudapan buatan Prisha—yang sesekali saat ibu lengah diam-diam dia bekal dari rumah.

Sayangnya, tidak ke lantai sepuluh, Paradikta langsung memimpin jalan guna menuju puncak gedung.

Ah, sampai lupa. Sekarang Paradikta bukan lagi kacung di departement Sales and Marketing. Kini, dia sudah sukses menduduki tahta Vice President Director yang berkantor di lantai dua puluh. Lantai yang dulu bahkan tak pernah sekali pun Prisha injak keramiknya. Karena ya, dia sama sekali nggak punya keperluan untuk bertemu secara profesional dengan Pak Damaja.

Omong-omong soal Pak Damaja, Prisha yang melangkah di belakang punggung tegap Paradikta ikut refleks berjengit sewaktu laki-laki itu mendorong kasar pintu ruang kerjanya untuk lantas meneriaki, "Pah, aku kan udah bila—mana Bapak?!"

Bukan Pak Damaja yang penuh wibawa. Di mana dari caranya duduk saja sudah mencerminkan bahwa dia bangsawan. Yang sedang duduk sembari memangku seorang anak di sofa panjang dalam ruangan Paradikta adalah seorang wanita. Dari betapa kikuk gerakkannya sewaktu dia tergesa-gesa bangkit berdiri, Prisha tebak dia boleh jadi baru berusia awal dua puluhan.

Jangan Ada Air MataWhere stories live. Discover now