Seperti Mawar Kering Yang Tertiup Angin.

5.1K 714 66
                                    

Prisha memang ingin mati. Berkali-kali dalam sehari malah. Najandra yang bertahun-tahun mengorbankan telinganya untuk mendengar betapa despirate-nya Prisha mungkin diam-diam merasa kebosanan. Tak peduli bila pun itu di pagi yang cerah di mana orang-orang di sekitar tempat tinggalnya lumrahnya sibuk berkebun atau berternak, Prisha justru kerap bangun terlalu dini guna sibuk sendiri untuk memikirkan tentang kematiannya.

Siang? Bagi orang-orang di ladang itu adalah waktu yang tepat buat mulai mencari-cari tempat berteduh sambil membuka-buka rantang berisi makanan yang mereka bekal. Namun buat Prisha rasanya tak ada yang lebih menarik dari membayangkan dirinya tenggelam di arus deras sungai yang mengalir di tepi tebing yang mungkin mampu mengapungkan jasadnya hingga tiba di hilirnya di Jakarta sana.

Lalu, apakah jika malam situasinya akan lebih membaik?

Andai Prisha berani untuk memutuskan mengambil tali jemuran di halaman depan rumah sewaannya ketika para tetangganya larut tertidur, kemudian mengikat lehernya kuat-kuat dengan benda itu, boleh jadi tak bakalan ada yang tahu jika di malam Bogor yang dingin dia telah sukses meregang nyawa.

Namun, tahu nggak sih? Sama seperti kelahiran realitasnya kematian pun tidak semudah itu datang hanya karena dimau atau diminta.

Najandra kadang-kadang sambil lalu bilang begini kepada Prisha di luar jam konselingnya, "Kematian itu sesuatu yang pasti. Nggak mungkin mampu kita tolak sebenarnya. Kematian tentu akan sampai, Prisha. Hanya saja waktunya mutlak tergantung pada tangan Tuhan. Setidaknya hingga waktu itu tiba, tolong hidup sehari lagi, ya? Lakukan apa saja yang belum sempat kamu lakukan. Jangan pikirkan apa-apa. Kayak mawar-mawar di tepi jalan, kelopaknya cuma gugur dan terbang tertiup angin saat sudah tiba waktunya untuk mengering. Dan, kamu ... em, mawar yang ada di dalam pot depan rumah mekarnya bagus deh. Dia ... cantik. Kepikiran nggak sih buat nanam lebih banyak?"

Dan, Prisha, entahlah mungkin salah satunya dia betul-betul sedang mengamalkan saran dari Najandra? Atau, memang keinginan itu timbul dari dasar hatinya? Atau, karena uangnya bisa kian menipis kalau dia bertahan tanpa melakukan apa-apa? Yang jelas dia menanam banyak mawar setelahnya karena dia terus hidup sehari lalu sehari, dan nyatanya napas Prisha terus terembus di hari-hari yang tiada henti berulang kendati mawar-mawar yang ditanamnya bahkan sempat terancam menjadi daun-daun kering yang sia-sia.

Kemudian apa barusan yang dikatakan oleh Paradikta untuk menyambutnya?

"Saya kira kamu sudah mati."

Meski intensitasnya sedikit berkurang, tetapi bisik-bisik ajakan untuk mengakhiri hidup masih sering Prisha alami hingga hari ini.

Tanpa sadar Prisha menundukkan kepalanya dalam. Tangannya yang terpangku lantas dia kepal dan remasi.

Entah. Mungkin untuk orang-orang yang sempat mengenalnya kabar kematian Prisha merupakan sesuatu hal yang sudah mereka tunggu-tunggu dan antusiasi.

"Kamu bawa ke mana saya?" Dulu suara tegas Paradikta sama sekali tak terdengar dingin di telinga Prisha, tetapi kali ini sama sekali tak berbeda dari terakhir mereka bertemu, biar pun itu kalimat yang singkat, tapi nadanya bak menyamai sebilah pisau yang tak akan tanggung-tanggung dalam mengirisi dengan tak kasat mata bukan cuma telinga Prisha, namun juga hingga ke hatinya.

"Masih tidak punya mulut? Padahal sudah bertahun-tahun terlewati. Kamu tidak pakai semua waktu yang berlalu itu untuk belajar ngomong?"

Prisha tidak melihat lawannya bicara. Namun, walau matanya masih lurus-lurus menatapi lantai kamar indekos milik Jesika yang sebelas-dua belas tampilannya dengan rumah super-sederhana sewaannya, Prisha tahu kok bila saat ini Paradikta tengah berusaha bangkit dari posisi berbaringnya. Sayup-sayup gerakkan tangan serta kakinya yang menggesek sprei kasur Jesika membentuk suara gemerisik yang khas.

Jangan Ada Air MataWhere stories live. Discover now