Pesan-Pesan Yang Datang Di Tengah Malam.

4.3K 670 58
                                    

+62 812-2424-8088: Nomor kamu masih sama ternyata.

Prisha masih menyapukan handuk ke rambutnya yang basah begitu ponsel di atas kasurnya menyala dan memajang pop-up pesan yang terbaca demikian.

Tak merasa perlu membuka atau buru-buru membalasnya, Prisha memutuskan untuk melangkah ke arah meja sempit di depan jendela. Selain sedikit alat rias yang jarang-jarang dia gunakan, di sana juga terdapat satu cangkir teh dengan sisa-sisa uap halus mengepul yang sebelum dia mandi sempat terlebih dahulu diseduhnya.

Membaui aroma artifisial bunga-bunga dari jejak shampoo murah yang belum seutuhnya mengering berbaur dengan wangi melati dari teh celup, nyaris saja kombinasinya berhasil membikin dentum-dentum di dada Prisha yang agak tak beraturan semenjak seharian ini dia kabur-kaburan mereda. Dan ya, itu memang jauh lebih baik sewaktu akhirnya perempuan itu mulai menyesap teh hangatnya. Membiarkan kerongkongannya yang serasa pedas sebab terlalu banyak bersuara teraliri oleh air yang seperti menyapu kegersangan.

Prisha pun refleks mendesah panjang pasca-mengambil dua tegukan besar. Namun, tidak langsung menaruh cangkir yang ternyata keramiknya sanggup menghantarkan kehangatan pada telapak tangannya, Prisha justru menggerilyakan netranya ke luar jendela. Memandangi setiap jengkal gelap juga gerimis tak kunjung usai di luar sana yang bertolak belakang dari potret terang benderangnya langit kota Jakarta di kala hujan.

Menghembuskan pelan napasnya lagi, ya Prisha ... dia tidak jadi menginap di tempat Jesika.

Lalu, bagaimana bisa dia justru ada di dalam kamar rumah kontrakannya di Bogor?

Well, Prisha tak akan muluk-muluk panjang bercerita. Yang jelas setelah diusir atau apa pun lah sebutannya tanpa diberi kesempatan untuk makan—ah, bukannya Prisha punya nafsu juga sih cuma ya ... kali terakhir dia memasukan sesuatu ke lambungnya saja saat dia masih di rumah, terus dari siang hingga petang dia berkeliaran di ibukota jangankan Peruvian foods macam seco de chabelo, main course populer yang boleh jadi tak akan dilewatkan untuk dihidangkan oleh restaurant fine dining mewah yang direservasi Paradikta dan keluarga, air putih saja dia tak keburu minum—Prisha ingat dia hanya menganggukan samar kepalanya ke arah Damaja untuk berpamitan.

Laki-laki yang bisnis ritel fashion-nya begitu dielu-elukan bahkan sedari Prisha masih menjadi salah satu pegawainya itu tampak keberatan dengan apa yang dilakukan oleh sang anak, tetapi toh dia memilih untuk tak mengatakan apa-apa atau berbuat apa-apa. Mungkin sebab dia sadar jika menahan Prisha di sana lebih lama pun paling-paling bakal membikin Awidya dan mulutnya berulah makin kebablasan.

Saat itu, Prisha sudah berjalan keluar. Namun, tanpa dia duga Paradikta justru mengikuti di belakang langkahnya. Mereka juga masuk lift bersama-sama. Tiba di lobby pun bareng. Dan, sewaktu Prisha mulai bimbang akan pulang ke mana serta sebaiknya memakai moda transportasi apa, mobil mentereng pabrikan Eropa milik Paradikta tiba-tiba diparkir oleh valet di hadapannya. Em ya, maksudnya di bibir pintu lobby, di depan Paradikta yang kebetulan sedang berdiri tak jauh dari posisi Prisha sibuk menatapi ponselnya. Perempuan itu awalnya berusaha cuek, tapi bukannya langsung masuk ke mobil seperti sewajarnya, Paradikta malah tahu-tahu mengeliminasi jarak demi dapat menggeret lengan Prisha untuk kemudian memaksa menempatkankanya di kursi sisi kemudi.

Tanpa bicara atau pun sudi mendengar protesan Prisha yang meminta buat segera diturunkan di sembarang tempat, pria itu tak terpengaruh. Dia tetap teguh mengendarai mobilnya sendiri hingga beberapa jam kemudian mereka berhasil tiba di depan rumah Prisha di sudut ter-Timur kota Bogor.

Berbanding terbalik dengan Jakarta, di sana suasananya sungguh sepi. Prisha tentu diterjang dilema. Di kondisi normal saja, orang-orang sudah seperti malas keluar rumah di atas jam 7 malam. Nah ini, hujan belum juga menunjukan tanda-tanda mau reda. Jangankan mengharap hadirnya orang-orang atau kendaraan yang sibuk lalu-lalang membelah guyuran hujan di jalanan guna menambah keramaian. Selain suara keciprak air yang mendarati tanah untuk singkat saja hanyut ke cekungan yang lebih rendah, malam ini praktis cuma ada bunyi-bunyi nyanyian keras katak jantan di kejauhan yang siap bereproduksi.

Jangan Ada Air MataWhere stories live. Discover now