53. Seperti Yang Selalu Terjadi

567 163 29
                                    

Rumah tampak sepi ketika Adinda sampai. Papa sudah pasti pergi ke kantor bersama dengan Ananda. Aidan mungkin juga pergi ke kampus, dan biasanya hanya mama yang ada di rumah. Namun, ketika Adinda melangkah memasuki rumah yang tidak terkunci itu, hingga ke dapur, ia tidak menemukan Mama di sana.

Oke, sejujurnya itu membuat Adinda sedikit lega. Entah mengapa, bayangan bertemu Mama saat tidak ada anggota keluarga lain, terasa agak menakutkan bagi Adinda.

"Mama nggak ada, Bi?" tanya Adinda pada asisten rumah tangganya yang sedang sibuk di dapur.

"Ya Alloh, Nonik! Kapan sampainya?"

Binar di mata wanita itu mengatakan bahwa ia benar-benar senang melihat Adinda pulang, ditambah pelukan dari tubuhnya yang gemuk, membuat Adinda tersenyum sambil membalas pelukannya.

Bi Siti sudah bekerja di rumah ini semenjak Adinda baru lahir. Bahkan bisa dikatakan jika Bi Siti jauh lebih seperti ibunya sendiri daripada Mama. Wanita ini yang mengasuhnya di saat Mama sibuk dengan Ananda kecil. Bi Siti juga yang selalu memperhatikan dan mendengarkan cerita Adinda lebih dari siapapun di rumah ini.

Jika ada yang membuatnya cukup sedih saat harus pergi ke Austin dulu, itu adalah karena ia tidak akan memakan masakan Bi Siti lagi setiap hari dan mendengarkan suaranya yang menenangkan.

"Bibi sehat?" tanya Adinda sambil mengamati wanita paruh baya itu. Tubuhnya yang gemuk sedikit mengingatkannya pada Gram.

"Alhamdulillah sehat. Nonik gimana di sana? Makanannya cocok ndak?"

Nonik. Rasanya sudah lama sekali ia tidak mendengar panggilan kesayangan itu. Hanya Bi Siti yang memanggilnya Nonik karena menurut wanita itu, wajahnya sangat mirip bule ketika dirinya kecil dulu.

Memang, tidak dipungkirinya, dari mereka bertiga, hanya dia yang berwajah mirip bule. Senyum mereka bertiga memang sama milik Papa, tetapi hanya Adinda yang tidak memiliki jejak wajah ayu mama. Ia juga dianggap jauh lebih cantik daripada Ananda oleh semua orang yang bertemu mereka, dan biasanya, hal itu selalu membuat Mama menjadi sewot.

Sayangnya, lagi-lagi, cantik tidak membuatnya menjadi anak kesayangan Mama dan Papa kan?

"Cocok. Bibi kan tahu Dinda pemakan segala. Tapi Dinda kangen masakan Bibi juga."

Bi Siti tertawa bersamanya. Rasanya menyenangkan ada orang yang menyambutnya di rumah meskipun itu bukan keluarganya.

"Nah, nanti Bibi masakin rendang, perkedel sama sop kesukaan Nonik."

Mata Adinda berbinar. Tiga jenis masakan itu memang yang paling ia rindukan dari Bi Siti karena meskipun Bi Siti orang Jawa, rendang buatannya tidak kalah enak dari rumah makan Padang.

"Nggak ada yang di rumah, Bi?"

"Den Ai ada di kamarnya kok, Nik. Bapak ke kantor. Ibu ketemuan sama calon besan."

Calon besan. Berarti benar jika Aidan akan segera menikah? Kapan? Kenapa tidak ada yang bicara dengannya?

"Kalau gitu aku ke kamar Ai dulu, Bi."

Adinda memeluk wanita itu sekali lagi sebelum menghilang dari dapur dan menaiki tangga menuju kamar-kamar mereka berada. Rumah ini tidak ada yang berubah. Masih sama nyamannya meskipun Dinda tidak terlalu merasakan kehangatan seperti yang ia dapat setiap kali memasuki rumah Gram.

Kenapa seperti itu? Rumah ini adalah tempatnya tumbuh besar, tetapi ia bahkan merasa jauh lebih nyaman tinggal di peternakan. Apa karena ia diterima di sana? Karena tidak ada orang di sana yang tidak peduli padanya?

Adinda mengetuk pintu kamar Aidan, dan menunggu hingga terdengar suara adiknya yang menyuruh masuk. Ia mengintip ke dalam kamar, dan melihat Aidan sedang duduk di depan meja belajarnya. Perhatiannya masih terfokus pada layar komputer di hadapannya.

Sorry, I Love Your Daddy! (TAMAT)Kde žijí příběhy. Začni objevovat