tujuh belas

2.3K 274 15
                                    

"Mama!" Yujin berlari ke arah Hao dengan riang.

"Senang melihat pantai, hm?" Yujin mengangguk antusias dengan rambutnya yang bergerak lucu.

"Yujin suka! Terima kasih!"

"Ucapkan itu pada ayahmu." Yujin lagi-lagi tersenyum kemudian menghampiri Hanbin yang sedang berbaring.

"Papaa!" Seruan riang Yujin membuyarkan lamunan Hanbin.

cup.

"Terima kasih! Yujin sangat senang!"

Hati Hanbin menghangat, senyum yang hampir menyerupai miliknya itu terlukis apik dalam pahatan wajah Yujin.

Sehangat inikah rasanya melihat senyum buah hatinya?

"Yujin mau ice cream? Biar papa belikan!"

"Yeay!"

Dan akhirnya kedua lelaki beda generasi itu berjalan menuju stand ice cream terdekat.



"Kami memutuskan untuk memulai hubungan baru." Keita hampir saja tersedak es jeruknya.

Hao membuka percakapan dengan topik yang cukup mengejutkan Keita, sekaligus menjawab pertanyaannya ketika ia sampai disini.

Awalnya ia menyusul Hao karena mendapat kabar bahwa Jeonghyeon berada di tempat yang sama. Namun Jiwoong memilih untuk kembali ke Seoul secepatnya dan memintanya tetap mengawasi Hao

Tetapi apa yang ia lihat sudah cukup membuatnya terkejut.

"Apa Jiwoong sudah tahu?" Hao menggeleng.

"Melihat Jeonghyeon saja sudah membuat ia geram, apalagi kalau sampai melihatku bersama Hanbin." Hao mengerucutkan bibirnya.

"Aku mengerti perasaan Jiwoong, melihatmu bersama sumber penderitaanmu jelas membuatnya sakit hati. Bukan hanya Jiwoong, aku pun begitu."

Hao menipiskan bibirnya, untung saja hanya Jiwoong yang datang saat itu. Karena bisa saja Jeonghyeon akan kritis jika berada di tangan Keita.

Pria jepang itu lebih menyeramkan dari pada Jiwoong.

"Aku bahkan ingin menghajarnya ketika ia menghasut Yujin untuk memanggilnya papa! Dasar tidak tahu diri."

"Cukup, Keita."

"Kenapa? Kenapa tidak kau tolak saja tawaran Seungwoo dan tampil bersama pria itu?"

"Dan membuat akademiku malu? Yang benar saja."

"Lebih baik dari pada harus melihatmu sesak hanya karena pria itu!"

Benar, benerapa kali ia merasa dadanya sesak ketika bersama Jeonghyeon.

"Tapi sampai kapan aku harus menghindarinya?"

"ZHANG HAO! Demi Tuhan..." Keita melirih.

"Hyung, aku tidak lupa apapun tentang kejadian itu. Tapi tolong jangan membencinya."

Hao menatap lurus ke arah pantai.

"Kau tahu, kalau bukan karena Jeonghyeon aku tidak akan berakhir bersama Hanbin dan memiliki Yujin."

Keita terdiam. Ia hampir lupa bahwa alasan Hao memilih untuk bertahan adalah karena putra semata wayangnya, Sung Yujin.

"Hyung, jangan membenci siapapun. Baik Jeonghyeon ataupun Hanbin."

"Ku akui bahwa berat untuk menjalani kehidupan ini di awal. Tetapi tidakkah kalian mengerti seberapa berharganya Yujin dihidupku?"

"Menyalahkan masa lalu sama saja dengan kalian menyesali kehadiran Yujin, separuh hidupku."

Keita merengkuh Hao dalam pelukannya, membiarkan dadanya basah akibat tangisan yang sejak tadi ia tahan.

Egois rasanya ketika ia dan Jiwoong masih saja menyalahkan apa yang terjadi di masa lalu, tanpa memikirkan perasaan dan kebahagiaan adik mereka yang lain.

Kebahagiaan yang lebih besar dan tak bisa diganti dengan apapun.
















"Papa, mau lagi." Hanbin menggeleng, bisa-bisa Yujin sakit jika terlalu banyak makan ice cream.

"Tidak, son. Tidak boleh lebih dari dua gelas dalam sehari."

"Yah." Yujin menunduk lesu, mencoba untuk meluluhkan Hanbin.

Mungkin saja dengan cara ini Hanbin akan luluh.

Tetapi tetap saja, Hanbin tetaplah Hanbin.

"Dengar, son." Hanbin menyamakan tinggunya dengan Yujin.

"Sesuatu yang terlalu banyak itu tidak baik. Apalagi ice cream itu dingin, dan Yujin tadi sudah bermain air. Papa tidak mau kalau Yujin sakit. Mengerti?"

"Hng. Mengerti papa."

"Anak baik." Hanbin menggendongnya kemudian membayar ice cream sebelum akhirnya keluar dari stand tersebut.










Hao menyerngit. Semenjak kembalinya mereka dari pantai, ia sama sekali tak melihat Hanbin dimanapun.

Bahkan Yujin pun turun dan berlarian kesana-kemari.

"Mama, dimana papa?"

Hao yang baru saja selesai memasak, mematikan kompornya dan menghampiri Yujin.

"Mama pun tidak tahu. Mungkin papa sedang ada urusan."

Jujur saja kalau kata urusan membuatnya berpikiran macam-macam tentang pria Sung itu. Kemana lagi dia? Bertemu Matthew atau benar-benar memiliki urusan lain.

Bahkan sampai hampir jam 9 malam, pria itu tak kunjung kembali.

Padahal mereka telah berjanji untuk membuat makan malam bertiga bersama Yujin di hari ulang tahunnya.

"Mama, apa papa tidak akan pulang? Apa papa lupa hari ini hari apa?"

Oh tidak! Mata Yujin yang berkaca adalah kelemahan untuknya. Lagi-lagi Hanbin membuatnya emosi dengan ini.

Aku baru saja hendak mempercayaimu, Sung Hanbin.

"Cha, lebih baik kita makan sekarang. Pasti cacing di perut—"









"Maaf aku terlambat."

Keduanya menoleh. Disana ada Hanbin yang terengah-engah sambil membawa dus kecil berisi—

"Sangat susah mencari toko kue yang buka di akhir pekan ini." Hanbin meletakkan kue tersebutdan menyalakan lilin di atasnya.

"Selamat ulang Tahun, Sung Yujin." Hanbin mengecup pipi Yujin dan menggendongnya.

"Kau.." Hao terbata.

"Maaf aku tidak sempat mengabarimu. Ponselku tertinggal di kamar. Syukurlah kalau hari ini belum lewat."

Keduanya kembali fokus pada Yujin yang tersenyum cerah kemudian menutup matanya, merapalkan doa sebelum akhirnya meniup kue tersebut.

Malam itu ditutup dengan agenda makan malam bertiga yang berjalan sesuai rencana.

Chapter tujuh belas —end





Anggap aja ya lagi ulang tahun Yujin, hehe.

[2] Lie | Binhao [END]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant