47. Kecewanya Seorang Anak

9 1 0
                                    

Happy Reading Fellas!

~♥~

E M P A T P U L U H T U J U H

"Nggak ada seorang anak yang sanggup untuk lihat ibunya menyakiti dirinya sendiri."

~♥~


Malam ini Felisha datang ke rumah sakit untuk menjenguk Rania. Ia mendapat kabar dari Iqbal kalau Rania sudah sadar dan keadaannya sudah jauh lebih baik. Felisha berjalan pelan menuju ruang rawat Rania. Dalam hatinya Felisha takut. Ia belum siap menemui Fabian dan Adintara lagi. Meski ia tahu dari Adintara kalau masalah keluarga mereka sudah perlahan membaik, gadis itu masih takut untuk kembali masuk di antara mereka.

Felisha sendiri juga masih menyimpan sedikit kekecewaan terhadap Rania. Gadis itu berjalan di lorong rumah sakit dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang. Entah apa yang harus ia katakan jika bertemu Rania atau Fabian nanti.

Felisha pun sampai ke ruangan Rania dan perlahan mengetuk pintu. Ia pun membuka pintu itu dan menatap Rania di ranjang pesakitannya. Rania tengah duduk bersandar.

"Asha? Sini sayang! Mama kangen sama kamu," suruh Rania yang melihat kedatangan Felisha. Felisha mendekati Rania dan menyalami tangannya.

"Assalamualaikum," salam Felisha pelan. Rania tersenyum lembut dan membalas salam Felisha.

"Wa'alaikumsalam. Kamu nggak ketemu Bian di depan?" tanya Rania. Memang kebetulan Fabian yang menjaga Rania malam ini. Tadi Fabian pamit keluar untuk membeli minum di kafetaria rumah sakit. Tak berselang lama Felisha datang. Jadi Rania bisa mengira kalau mereka bertemu setidaknya di lorong dekat ruangan Rania.

Felisha tak menjawab dan hanya menggeleng. Ia menatap lekat Rania penuh kesedihan. Gadis itu menghela napasnya membuat Rania bingung. Ada apa dengan gadis yang sudah ia anggap anaknya sendiri ini?

"Kenapa, Sha? Ma--" belum sempat lebih lanjut menanyakan ada apa dengan anak gadisnya ucapan Rania terpotong dengan suara lembut Felisha.

"Felisha kecewa sama mama," Rania terdiam mendengar suara lembut yang terkesan sangat menyakitkan.

Felisha tersenyum tipis, "Tapi Felisha lebih kecewa sama diri Felisha sendiri. Felisha pikir, mama adalah orang yang bisa pegang janji. Felisha pikir mama percaya sama Felisha. Ternyata nggak gitu ya, Ma?"

"Nggak sayang. Maaf--"

"Maaf, Ma," potong Felisha lagi, "Felisha terlalu ikut campur,"

Mata Felisha mulai merah dan berkaca-kaca. Dadanya merasa sesak setiap mengatakan sepatah kata pada Rania.

"Maaf Felisha sok tahu tentang luka mama. Maaf Felisha nggak puas cuma jadi pacar Fabian. Maaf Felisha terlalu percaya diri bisa jadi sahabat yang baik buat mama," lirih Felisha penuh sesal. Rania menatap Felisha sedih dan tidak suka dengan semua perkataannya.

"Nggak gitu, sayang,"

"Maafin Felisha ya, Ma? Felisha yang mengusulkan Om Adi untuk segera menyelesaikan masalah ini. Felisha yang meyakinkan Om Adi dan Tante Vivina agar segera menemui mama. Felisha nggak berpikir soal Fabian dan malah menyebabkan kejadian malam itu. Maaf Felisha malah jadi penyebab dari rasa bersalah mama," jelas gadis itu dengan air mata yang mulai luruh.

"Asha.. mama nggak minta kamu untuk melakukan itu sayang. Dan mama belum siap untuk apa pun. Maaf sayang, mama terlalu takut menghadapi Fabian," jawab Rania lembut.

"Aku tahu, Ma. Tapi mama nggak perlu menyakiti diri sendiri dengan rasa takut itu, kan?" Rania pun bungkam.

"Malam itu pertama kalinya Felisha merasa benar-benar ketakutan, Ma. Sahabat Felisha memang nggak meminta pertolongan. Tapi apa Felisha harus diem aja ketika Felisha akan kehilangan dia? Felisha harus diem sampai mama benar-benar pergi? Sampai kapan Felisha harus ikut sembunyi dari Fabian? Felisha nggak masalah kalau Fabian benci sama Felisha. Tapi mama mau? Fabian kehilangan mama tanpa tahu kebenarannya? Fabian pasti marah sama mama dan nggak akan berhenti membenci Om Adi maupun Tante Vivina," sambung Felisha mengeluarkan isi hatinya.

Game Over: THE WOLFGANGWhere stories live. Discover now